Jika di Jawa ada sabo dam- struktur pengendali aliran lahar dingin yang melindungi permukiman dari material vulkanik - maka di Lampung ada repong damar, Â sabo alami yang dibangun masyarakat sejak ratusan tahun lalu.
Bukan bendungan beton, repong adalah hutan adat yang sejak ratusan tahun menjadi benteng ekologis, penyangga ekonomi, dan warisan budaya masyarakat Pesisir Barat.
Di era pembicaraan krisis iklim dan pembangunan berkelanjutan, repong damar menunjukkan bahwa kearifan lokal mampu menawarkan solusi nyata.
Hutan Adat yang Hidup Lintas Generasi
Repong damar tumbuh dari praktik agroforestri masyarakat Krui, Kabupaten Pesisir Barat. Pohon damar (Shorea javanica) ditanam turun-temurun dan dikelola menurut aturan adat; setiap keluarga memiliki repong namun tetap terikat pada norma komunal.Â
Dari jauh, repong tampak seperti hutan alam: pepohonan besar, lapisan understorey, dan keanekaragaman flora-fauna. Namun ia sejatinya adalah hutan buatan yang dibentuk agar menyerupai hutan tropis alami - produktif sekaligus lestari.
Luas repong damar di Pesisir Barat diperkirakan mencapai 17.000 hektare, membentang dari perbukitan hingga pesisir barat Lampung. Data ini disebutkan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research) dan Badan Planologi Kehutanan (2000). Letaknya strategis di peralihan darat-laut, sehingga berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Â
Apa Itu Repong Damar?
Secara sederhana, repong damar adalah kebun damar yang dikelola dengan pola agroforestri. Selain damar, masyarakat menanam durian, petai, jengkol, pisang, kopi, dan tanaman obat. Produk utama adalah getah damar, yang disadap dari batang tanpa harus menebang pohon - sehingga repong tetap produktif dalam jangka panjang.
Lebih dari sekadar sumber komoditas, repong berfungsi sebagai "sistem pengendali ekologi": menahan erosi, mengatur aliran air, menjadi habitat, dan menyimpan karbon.