Karena itu, menulis tentang gajah bukan sekadar romantisme. Ia adalah tindakan advokasi. Kata-kata menjadi suara bagi yang bisu, opini menjadi ruang sidang bagi yang tak punya kursi.
Belajar Hidup Berdampingan
Meski suram, masih ada harapan.
- Di Lampung, Elephant Flying Squad melatih gajah jinak menjaga kebun dari kawanan liar. Sebuah paradoks - gajah melawan gajah - namun lahir dari upaya manusia mencari jalan tengah.
- Di Aceh, masyarakat adat menghidupkan kembali kearifan lokal. Bagi mereka, hutan bukan sekadar kayu, melainkan ruang spiritual.
- Teknologi juga hadir sebagai sekutu: drone, GPS, dan kampanye viral di media sosial memudahkan deteksi dan mendorong kepedulian publik.
Harmoni bukan utopia. Ia mungkin terwujud bila kita berhenti melihat gajah sebagai musuh, dan mulai melihatnya sebagai tetangga.
Sumpah Baru untuk Nusantara
Kita pernah mengenal Sumpah Palapa dari Gajah Mada. Ia bersumpah tak akan menikmati palapa sebelum menyatukan Nusantara.
Pertanyaannya: beranikah kita mengucapkan Sumpah Palapa Ekologis?
“Kami tidak akan merasa berhasil sebagai bangsa sebelum memastikan gajah, harimau, dan orangutan tetap hidup di hutan Indonesia.”
Sebuah sumpah bukan lagi untuk menaklukkan wilayah, tetapi untuk menjaga kehidupan.
Dari Suara ke Solusi
Untuk menjadi suara satwa, kita perlu langkah nyata:
- Perbaikan tata ruang – hentikan alih fungsi habitat kritis.
- Penegakan hukum serius – hukum bukan hanya untuk pemburu kecil, tapi juga untuk cukong dan korporasi.
- Kolaborasi dengan masyarakat lokal – satwa bukan lawan, melainkan bagian dari ekosistem bersama.
- Edukasi publik – dari sekolah hingga media, ajarkan bahwa satwa adalah penopang kehidupan kita.
Penutup: Suara Gajah