Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Voice for the Voiceless: Suara untuk Gajah Sumatra

23 September 2025   21:33 Diperbarui: 23 September 2025   21:33 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gajah bukan sekadar satwa karismatik. Ia adalah penjaga ekosistem. Saat berjalan, ia membuka jalur alami, menyebarkan biji, menjaga keragaman hayati. Kehilangan gajah berarti kehilangan denyut kehidupan hutan tropis.

Namun, di ruang publik, gajah kerap hadir bukan sebagai penyelamat ekosistem, melainkan sebagai terdakwa. Judul berita: “Gajah Liar Mengamuk, Warga Rugi Puluhan Juta.” Padahal, siapakah yang lebih dulu mengamuk pada hutan?

Negeri Para Gajah Duduk

Istilah “gajah duduk” di negeri ini biasanya merujuk pada tersangka kasus besar yang tak tersentuh hukum. Tapi mari kita balikkan makna itu.

Sesungguhnya, gajah di hutan Sumatra adalah “gajah duduk” yang sebenarnya: duduk terpojok, dituduh perusak, sering mati terjerat, sementara para perusak hutan duduk tenang di kursi kekuasaan.

Ibarat metafora, gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seberang lautan begitu jelas pertanda betapa kita sering menutup mata pada persoalan besar di sekitar, namun terlalu sibuk memperhatikan hal-hal kecil yang jauh.

Hukum kita ramah pada kapital, tetapi bisu pada satwa.

  • Perusahaan yang membakar hutan berdalih “investasi.”
  • Jaringan perdagangan gading hanya disentuh di lapisan bawah.
  • Gajah lapar yang masuk kebun justru dituduh sebagai kriminal.

Meja sidang ekologi kita kosong: tak ada hakim, tak ada jaksa. Putusan dijatuhkan sepihak - gajah harus minggir.

Suara yang Tak Punya Pengacara

Bayangkan bila gajah bisa menunjuk pengacara. Barangkali ia akan berkata:

“Yang Mulia, kami dituduh merusak kebun. Tapi bukankah kebun itu dulunya hutan kami? Bukankah para terdakwa sesungguhnya adalah manusia yang menggusur rumah kami?”

Namun itu mustahil. Gajah, harimau, orangutan - semua satwa liar tak punya pengacara. Mereka hanya punya kita: penulis, aktivis, guru, akademisi, masyarakat biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun