Kelelahan fisik dan mental ini jarang mendapat pengakuan. Kalau karyawan kantoran mengaku burnout, biasanya ada ruang rehat atau cuti. Tapi kalau ibu rumah tangga mengeluh lelah, tanggapan yang muncul sering justru: "Kan cuma di rumah, kenapa capek?" atau "Itu sudah kewajiban ibu."
Padahal sekadar pengakuan dan ucapan terima kasih dapat menurunkan beban emosional pekerja rumah tangga. Sayangnya, apresiasi kecil semacam ini sering terabaikan.
Negara yang Abai
Dalam kebijakan publik, pekerjaan rumah tangga hampir tidak pernah diperhitungkan. Tidak ada insentif khusus, tidak ada perlindungan sosial, bahkan tidak diakui dalam neraca ekonomi nasional. Indonesia masih jauh dari diskusi seperti itu.Â
Akibatnya, pekerjaan rumah tangga tetap dianggap urusan privat keluarga, bukan bagian dari tanggung jawab negara. Padahal, jika kita serius membangun sumber daya manusia, urusan domestik mestinya dianggap sebagai investasi sosial jangka panjang.
Satir: Rumah Tangga Sebagai Startup
Untuk membayangkan betapa anehnya situasi ini, mari gunakan analogi satir:
Bayangkan rumah tangga sebagai sebuah startup.
- CEO: ayah.
- Magang tetap: ibu.
- Klien paling demanding: anak-anak.
Ada jobdesk: menjaga operasional berjalan. Ada KPI (rumah bersih, anak sehat, meja makan penuh). Ada deadline: setiap hari. Ada lembur: hampir setiap malam.
Namun berbeda dengan startup sungguhan, magang ini tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Tidak ada gaji, tidak ada bonus, tidak ada cuti. Bahkan, kerja keras ibu sering dianggap "biasa saja".
Bukankah ini bentuk eksploitasi paling halus?