Dimensi Sosial dan Psikologis
Beban pekerjaan rumah tangga sebenarnya bukan hanya fisik, tapi juga mental. Pekerjaan domestik sering tidak terlihat. Kalau selesai dikerjakan, dianggap "ya memang tugasnya." Kalau tidak dikerjakan, justru baru kelihatan dan jadi sumber omelan.
Lebih parah lagi, beban ini masih banyak jatuh ke perempuan. Meski wacana kesetaraan gender sudah berkembang, kenyataan di lapangan sering tidak berubah. Perempuan bekerja di ranah publik sekaligus tetap dibebani tanggung jawab domestik. Fenomena double burden ini nyata dan melelahkan.
Jadi, kalau rumah tangga dianggap perusahaan, pekerja domestik adalah tulang punggungnya.Â
Sayangnya, kontribusi sebesar ini tidak masuk hitungan GDP, tidak tercatat dalam statistik resmi, dan tidak mendapat penghargaan selayaknya.
Beban Ganda yang Tak Pernah Usai
Problem lain adalah beban ganda. Ketika perempuan bekerja di luar rumah, beban domestik tetap melekat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, lebih dari 70 persen pekerjaan rumah tangga masih ditanggung perempuan.
Seorang ibu bisa bekerja delapan jam di kantor, lalu pulang untuk shift kedua: memasak makan malam, mendampingi anak belajar, lalu memastikan rumah rapi sebelum tidur. Fenomena ini dianggap "kodrat", padahal sesungguhnya hasil konstruksi sosial dan budaya.
Sementara itu, laki-laki sering dipersepsikan hanya "membantu" kerja rumah. Kata "membantu" menunjukkan seolah-olah tanggung jawab utama memang milik perempuan. Selama cara pandang ini tidak berubah, beban ganda akan terus berlangsung.
Burnout Domestik yang Tak Diakui
Kerja domestik juga melahirkan burnout. Psikolog menyebutnya sebagai mental load: beban pikiran berlapis yang tak pernah selesai. Seorang ibu bisa memikirkan menu makan besok, jadwal imunisasi anak, tagihan listrik, sekaligus PR anak sekolah - semua dalam satu waktu.