Ketiga, tidak ada benefit. Lembur tidak dihitung. BPJS? Apalagi. Tunjangan hari raya? Jangankan tunjangan, kadang justru masih harus keluar biaya tambahan untuk menyenangkan semua anggota keluarga saat lebaran.
Nilai Besar yang Tak Pernah Dicatat
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), perempuan yang tidak bekerja di sektor formal rata-rata menghabiskan 7-9 jam per hari untuk pekerjaan domestik. Dalam seminggu, bisa lebih dari 60 jam. Bandingkan dengan pekerja kantoran yang "hanya" 40 jam seminggu.
Bagaimana jika dihitung dengan upah minimum? Jika UMR Rp3,5 juta berlaku untuk 40 jam kerja, maka nilai kerja domestik seorang ibu rumah tangga bisa setara Rp6-8 juta per bulan.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) pernah menghitung bahwa kontribusi kerja domestik yang tidak dibayar bisa setara 10-13 persen Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Dengan kata lain, ekonomi rumah tangga adalah fondasi dari ekonomi nasional, hanya saja tidak pernah dicatat dalam statistik resmi.
Di Indonesia, angka itu mungkin lebih besar. Bayangkan jutaan rumah tangga yang berjalan setiap hari karena ada tenaga tak terlihat di baliknya: ibu-ibu yang bekerja tanpa gaji.
Perbandingan dengan Dunia Profesional
Kalau kita tarik ke dunia kantor, perbandingannya jadi makin kocak sekaligus miris.
Di kantor ada KPI (Key Performance Indicator). Di rumah juga ada KPI, cuma bedanya: rumah harus selalu bersih, anak tidak boleh kelaparan, pakaian harus wangi, dan suami atau istri tidak boleh komplen.
Di kantor ada rapat evaluasi. Di rumah, evaluasi datang tanpa jadwal. Bisa berupa komentar dari pasangan yang berkata, "Kok rumah masih berantakan?" atau anak yang merengek, "Kenapa lauknya itu lagi, Bu?"
Di kantor ada bonus tahunan. Di rumah, bonusnya paling banter ucapan terima kasih- itu pun kalau sempat diucapkan. Seringnya malah dianggap biasa. Kalau beres, ya wajar. Kalau tidak beres, langsung jadi masalah nasional.