Meskipun sudah lama mendengar tentang Taman Nasional Way Kambas, baru kali ini saya dan keluarga benar-benar bisa sempat datang. Ada banyak alasan kenapa kunjungan ini tertunda, padahal lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami.
Akhirnya, pada Minggu, 14 September 2025, perjalanan pertama kami ke Way Kambas pun terealisasi. Rasanya menyenangkan, penuh kejutan, sekaligus memberi refleksi mendalam, meski ada beberapa catatan kecil terutama soal minimnya papan informasi di lapangan.
Agenda Perjalanan: Bukan Sekadar Wisata
Kunjungan kali ini terasa spesial karena membawa banyak tujuan sekaligus:
- Rencana lama yang tertunda - sudah sejak lama kami ingin berkunjung, baru kali ini bisa benar-benar terwujud.
- Tugas sekolah anak-anak - mereka mendapat tugas tentang keanekaragaman hayati, dan Way Kambas adalah tempat belajar yang nyata.
- Kebutuhan menulis - saya sekalian mengumpulkan data untuk mengikuti Animal Global Writing Competition bertema Speak for the Species, yang fokus pada satwa karismatik Indonesia: orangutan, gajah, atau harimau. Dengan datang langsung, tulisan saya akan lebih otentik.
- Quality time keluarga - momen berharga untuk menikmati alam bersama.
- Mengenal Nisa - bayi gajah yang viral karena kelucuannya. Anak-anak saya sudah lama ingin bertemu dengannya.
Perjalanan Menuju Way Kambas
Untuk mencapai Way Kambas dari Bandar Lampung, kami berangkat sekitar pukul 07.30 pagi. Jarak yang ditempuh kurang lebih 85 km dengan rute melalui Tol Kota Baru, keluar di Gerbang Tol Lematang, lalu dilanjutkan melewati jalan arteri. Perjalanan relatif lancar, memakan waktu sekitar dua jam hingga akhirnya kami tiba di lokasi sekitar pukul 09.30 WIB.
Sepanjang perjalanan kami juga mengandalkan bantuan Google Maps agar tidak tersasar, mengingat beberapa titik jalan arteri belum terlalu familiar bagi kami.
Salah satu hal yang membuat Way Kambas menarik untuk dikunjungi adalah harga tiketnya yang relatif terjangkau untuk pengalaman wisata alam sekaligus edukasi. Berikut rincian harga yang berlaku saat kunjungan saya:
- Tiket masuk: Rp30.000 per orang
- Parkir: Rp10.000
- Shuttle ke Savana: Rp20.000 per orang (sekitar 15 menit perjalanan, kapasitas hingga 15 orang)
- Jeep Adventure: Rp400.000 per jam (kapasitas maksimal 4 orang)
- Tiket masuk area gajah: Rp20.000 per orang (bisa sepuasnya berinteraksi dan memberi makan gajah)
- Makanan gajah: Rp10.000 per porsi
Dengan biaya yang cukup bersahabat, pengunjung sudah bisa merasakan pengalaman lengkap: dari menikmati savana, menjelajah dengan jeep, hingga berinteraksi langsung dengan gajah-gajah di bawah pengawasan pawang.
Di dalam, tersedia kantin dan gazebo dengan harga cukup ramah di kantong. Jadi, meski membawa bekal lebih praktis, pengunjung juga bisa membeli makanan di lokasi.
Catatan Penting: Minim Papan Informasi
Satu hal yang cukup membingungkan adalah minimnya papan informasi. Bagi pengunjung pertama yang datang tanpa pemandu, hal ini bisa merepotkan. Misalnya, lokasi parkir tidak langsung jelas, peta lokasi tidak terlihat di titik strategis, dan informasi tiket tambahan pun kurang lengkap.
Contoh nyata, tiket parkir Rp10.000 ternyata harus dibayar terpisah, bukan termasuk tiket masuk. Karena tidak ada papan informasi yang jelas, banyak pengunjung awalnya salah paham.
Menurut saya, hal ini perlu diperbaiki. Pihak pengelola sebaiknya menambah papan petunjuk dan peta area agar wisatawan merasa lebih nyaman. Informasi sederhana seperti biaya tambahan, arah ke savana, hingga area interaksi gajah bisa membantu wisatawan menikmati kunjungan dengan lebih tenang.
Interaksi Pertama dengan Gajah
Setelah membeli makanan di pintu masuk savana, kami naik shuttle berkeliling. Dari balik kaca, pemandangan savana begitu menawan, dengan pepohonan dan suasana asri yang membuat hati tenang. Sesekali terlihat gajah berjalan santai bersama pawangnya-pemandangan yang langsung membuat anak-anak antusias.
Kemudian, sampailah kami di lokasi interaksi gajah. Dengan tiket Rp20.000, kami bisa masuk area khusus gajah sepuasnya. Kami sudah membeli pakan untuk diberikan kepada Nisa, kakaknya, dan induknya.
Inilah momen pertama kami melihat, menyentuh, dan memberi makan gajah secara langsung. Awalnya, ada rasa canggung dan takut. Ukuran gajah begitu besar, belalainya panjang dan kuat. Namun, di bawah pengawasan pawang yang ramah dan terlatih, rasa canggung itu berganti menjadi kegembiraan.
Anak-anak saya tak berhenti tertawa saat Nisa meraih makanan dari tangan mereka. Saya sendiri ikut merasakan momen magis: ada kedekatan, ada rasa percaya, dan ada kebahagiaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Kami pun berfoto bersama Nisa dan gajah lainnya. Momen ini terasa begitu istimewa, mendebarkan sekaligus membahagiakan.
Refleksi Pribadi: Konservasi dan Tanggung Jawab Bersama
Berinteraksi langsung dengan gajah membuat saya berpikir: betapa pentingnya keberadaan mereka bagi bumi ini. Gajah bukan sekadar hewan besar yang unik, melainkan penjaga keseimbangan ekosistem. Mereka membantu menyebarkan biji tumbuhan, membuka jalur di hutan, dan menjadi bagian penting dalam rantai kehidupan.
Namun, ancaman terhadap gajah Sumatra nyata adanya: perburuan liar, konflik dengan manusia, dan rusaknya habitat. Populasi mereka terus menurun. Jika kita abai, bukan mustahil suatu saat anak cucu kita hanya bisa melihat gajah dari foto atau buku.
Di titik ini, saya sadar bahwa kunjungan ke Way Kambas bukan hanya soal rekreasi. Dengan membayar tiket, membeli pakan, atau sekadar datang, kita ikut berkontribusi pada upaya konservasi. Ini cara sederhana, tetapi penting, untuk memastikan gajah tetap ada di bumi kita.
Pesan Edukatif untuk Anak-Anak
Bagi anak-anak saya, perjalanan ini lebih berharga daripada belajar lewat buku semata. Mereka bisa melihat sendiri bagaimana gajah hidup, bagaimana pawang merawatnya, dan bagaimana manusia bisa berdampingan dengan satwa liar tanpa merugikan.
Saya menekankan beberapa hal pada mereka:
- Satwa liar harus dihormati. Kita boleh dekat, tapi tidak boleh menyakiti.
- Alam adalah rumah bersama. Jika hutan rusak, manusia pun akan terdampak.
- Tindakan kecil itu penting. Tidak membuang sampah sembarangan, mendukung program konservasi, atau berbagi cerita tentang gajah, semuanya punya dampak.
Dengan cara ini, kunjungan ke Way Kambas bukan hanya wisata, tetapi juga kelas belajar terbuka yang membentuk kepedulian sejak dini.
Coexistence: Harmoni Manusia dan Satwa Liar
Tema lomba yang saya ambil adalah Coexistence: Harmoni manusia dan satwa liar. Apa yang saya alami di Way Kambas seolah menjawab pertanyaan besar: bisakah manusia dan satwa hidup berdampingan?
Way Kambas memberi contoh nyata. Manusia bisa tetap beraktivitas-menikmati wisata, bekerja, belajar-sementara gajah tetap dilindungi dan dirawat. Ada ruang untuk keduanya.
Coexistence bukan berarti menghilangkan jarak, tapi menghormati batas. Gajah tidak perlu dijadikan tontonan semata, melainkan sahabat bumi yang keberadaannya penting. Momen saat tangan anak saya memberi makan Nisa, dan belalainya meraih dengan lembut, menjadi simbol kecil harmoni itu.
Seperti pepatah Melayu mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang.” Pepatah ini mengingatkan bahwa setiap makhluk akan meninggalkan jejaknya. Begitu juga dengan manusia: apakah kita akan dikenang karena menjaga harmoni dengan alam, atau justru karena merusaknya?
Harmoni hanya bisa tercipta jika ada kesadaran: menjaga satwa bukan beban, melainkan bagian dari menjaga diri kita sendiri.
Tips untuk Pengunjung Way Kambas
Sebagai kunjungan pertama, tentu banyak hal yang saya dan keluarga pelajari secara langsung di lapangan. Agar pengalamanmu lebih nyaman dan menyenangkan ketika berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas, berikut beberapa tips praktis yang bisa menjadi bekal:
- Datang pagi agar bisa menikmati suasana yang segar dan waktu lebih panjang untuk berkeliling.
- Siapkan uang tunai karena beberapa pembayaran dilakukan langsung di lokasi.
- Tiket masuk: Rp30.000 per orang, parkir Rp10.000, shuttle Rp20.000 per orang (15 menit), satu shuttle bisa muat hingga 15 orang, jeep adventure Rp400.000 per jam (muat maksimal 4 orang).
- Tiket masuk area gajah Rp20.000, bisa sepuasnya memberi makan gajah.
- Harga makanan gajah sekitar Rp10.000 per ikat.
- Tersedia kantin dan gazebo dengan harga terjangkau, tapi boleh juga membawa bekal sendiri dan tetap harus mengutamakan kebersihan.
Penutup
Kunjungan pertama kami ke Way Kambas adalah pengalaman yang lengkap: wisata, edukasi, refleksi, sekaligus inspirasi. Melihat Nisa yang lucu memberi harapan bahwa masih ada masa depan bagi gajah Sumatra. Namun, tanggung jawab menjaganya ada di tangan kita semua.
Semoga anak-anak yang hari ini belajar mencintai gajah akan tumbuh menjadi generasi yang lebih peduli, tidak hanya pada gajah, tetapi juga pada seluruh makhluk hidup di bumi. Karena pada akhirnya, hidup berdampingan dengan satwa liar adalah kunci menjaga harmoni alam semesta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI