Isu pendidikan gratis selalu hangat dibicarakan setiap kali pemerintah meluncurkan kebijakan baru atau masa kampanye politik tiba. Di satu sisi, masyarakat mendambakan akses pendidikan tanpa beban biaya. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan serius: apakah pendidikan gratis otomatis menjamin kualitas?
Pertumbuhan anggaran pendidikan Indonesia dari tahun 2022 hingga outlook 2026 memang tampak impresif di atas kertas. Bayangkan, dalam empat tahun jumlahnya melonjak hampir 58 persen, dari Rp480,3 triliun menjadi Rp757,8 triliun. Kenaikan ini seolah menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen pada pembangunan sumber daya manusia.
Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah lonjakan anggaran sebesar itu otomatis membuat pendidikan kita lebih merata, lebih adil, dan lebih berkualitas?
Faktanya, di balik megahnya angka triliunan rupiah, sekolah di pelosok masih kekurangan ruang kelas, guru honorer tetap dibayar jauh di bawah standar, dan kurikulum kerap tidak nyambung dengan kebutuhan dunia kerja. Anggaran besar tanpa strategi distribusi yang tepat hanya akan menjadikan pendidikan sebagai proyek anggaran, bukan sebagai investasi masa depan bangsa.
Lebih dari sekadar membanggakan jumlah, pemerintah harus berani memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar sampai ke ruang kelas, ke guru, ke laboratorium, dan ke mahasiswa yang membutuhkan.
Tanpa transparansi, pengawasan ketat, dan keberanian mereformasi manajemen pendidikan, angka Rp757,8 triliun di tahun 2026 bisa jadi sekadar catatan historis yang membanggakan, tetapi gagal menghadirkan generasi unggul. Di sinilah letak paradoks pendidikan kita: anggaran boleh terus naik, tapi kualitas tidak boleh stagnan.
Fenomena efisiensi anggaran yang dijalankan sekolah juga sering berdampak pada kualitas proses belajar. Banyak sekolah terpaksa menunda program-program pengembangan siswa karena dana minim. Misalnya, kemampuan sekolah untuk mengirim siswa mengikuti OSN, O2SN, FLS2N, lomba debat, atau program pertukaran pelajar kerap terhambat. Akhirnya, “gratis” memang memberi akses luas, tetapi berisiko menggerus ruang inovasi dan prestasi.
Pada titik inilah keraguan muncul: apakah pendidikan yang gratis itu bisa benar-benar berkualitas? Apakah gratis identik dengan murahan? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan menyentuh jantung persoalan pendidikan nasional.
Gratis seharusnya berarti membuka akses tanpa mengorbankan mutu. Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya soal siapa yang bisa masuk sekolah, melainkan sejauh mana sekolah itu mampu mencetak generasi cerdas, unggul, dan berdaya saing.
Kurikulum yang adaptif, inovasi pembelajaran berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, Math), serta sinergi antara guru, murid, dan orang tua menjadi kunci agar pendidikan tidak sekadar formalitas, melainkan benar-benar mempersiapkan generasi yang kritis, kreatif, dan siap menghadapi tantangan global.