Kita tahu bahwa dalam beberapa waktu terakhir, demonstrasi besar di Jakarta, Makassar, Solo, dan Yogyakarta (25-31 Agustus 2025) menewaskan setidaknya 7 orang. Data Katadata juga menyebut Polri mengamankan 3.195 orang terkait aksi tersebut.Â
Tragedi ini mencerminkan bagaimana ketidaktertiban bisa berujung kehilangan nyawa, sekaligus melemahkan esensi aspirasi yang ingin diperjuangkan. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya etika dalam setiap aksi bersama menjadi mutlak. Etika bukan hanya soal aturan tertulis, melainkan juga sikap saling menghormati dan menjaga keselamatan bersama.
Etika kepada Sesama Peserta
Etika pertama adalah kepada sesama peserta aksi. Tidak semua orang yang ikut demo memahami risiko penuh. Ada mahasiswa baru, ada pelajar yang sekadar ikut-ikutan, bahkan ada masyarakat awam yang penasaran.
Dalam demonstrasi di depan DPR RI pada 25 Agustus 2025, misalnya, 351 orang ditangkap, termasuk 196 anak di bawah umur (data Tirto.id). Fakta ini menjadi pengingat bahwa etika menjaga sesama peserta sangat penting: jangan menyeret orang yang belum siap, jangan memprovokasi teman melakukan tindakan di luar kesepakatan.
Demo seharusnya ruang solidaritas, bukan ajang adu keberanian. Menjaga agar sesama peserta tetap aman, saling mengingatkan untuk tidak terseret emosi, adalah bagian dari etika yang menentukan arah aksi.
Setiap peserta aksi harus menempatkan sesama sebagai rekan seperjuangan, bukan pesaing atau bahkan penghalang. Etika kepada sesama peserta diwujudkan dalam beberapa hal:
Mengutamakan keselamatan bersama - menghindari tindakan yang bisa memicu kericuhan atau melukai orang lain.
Saling menghormati perbedaan - menyadari bahwa setiap orang membawa perspektif, emosi, dan cara berpikir yang beragam, namun tujuan utamanya tetap sama.
Menjaga komunikasi positif - menggunakan kata-kata yang membangun, bukan provokatif, agar semangat aksi tetap terkendali.
Solidaritas nyata - membantu rekan peserta yang kelelahan, terdesak, atau mengalami kesulitan selama aksi berlangsung.