Penyusunan kode etik demonstrasi damai. Kode etik sederhana yang mudah dipahami semua kalangan, disosialisasikan melalui sekolah, kampus, hingga komunitas masyarakat.
Pendidikan kewargaan sejak dini. Sekolah tidak hanya mengajarkan teori Pancasila, tetapi juga praktik menyuarakan pendapat secara tertib, dengan kesadaran bahwa kebebasan selalu disertai tanggung jawab sosial.
Regulasi yang jelas dan tegas. Pemerintah memastikan aturan kebebasan berekspresi di ruang publik berjalan beriringan dengan tanggung jawab hukum.
Peran organisasi dan tokoh masyarakat. Organisasi mahasiswa, tokoh agama, dan masyarakat sipil dapat menjadi teladan serta penengah agar aspirasi tidak berubah menjadi aksi anarkis.
Dialog terbuka rakyat–pemerintah. Kanal komunikasi yang sehat membuat demonstrasi tidak harus meledak sebagai amarah di jalanan.
Jika langkah-langkah ini dijalankan, demonstrasi tidak hanya menjadi simbol perlawanan, tetapi juga ruang belajar kolektif tentang kedewasaan berdemokrasi.
Mengembalikan Martabat Demonstrasi
Di era media sosial, citra sebuah demonstrasi bisa menyebar dengan cepat. Satu foto sampah berserakan bisa viral lebih luas daripada substansi tuntutan. Satu video kericuhan bisa menutupi seribu aspirasi damai.
Etika berdemonstrasi menjadi kunci agar gerakan sosial tetap dihormati. Demo yang tertib, damai, dan penuh kesadaran akan mendapat simpati luas. Sebaliknya, demo yang rusuh, merusak, dan anarkis hanya akan mengundang antipati masyarakat, bahkan melemahkan gerakan itu sendiri.
Penutup
Etika berdemonstrasi mungkin tidak diajarkan di bangku sekolah atau ruang kuliah. Ia lahir dari kesadaran bersama bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh jika kebebasan disertai tanggung jawab.