Etika Personal
Etika kelima adalah etika personal. Setiap orang yang memutuskan turun ke jalan perlu punya kesadaran etika personal. Artinya, ia paham risiko, menjaga kesehatan, tidak membawa senjata atau barang berbahaya, dan tidak menyeret orang lain tanpa izin.
Etika personal juga berarti sadar bahwa ada keluarga menunggu di rumah. Banyak kisah pilu demonstrasi berakhir dengan korban luka bahkan meninggal. Perjuangan yang baik tidak seharusnya dibayar dengan hilangnya nyawa akibat emosi sesaat.
Etika Pasca Demo
Etika Keenam adalah pasca demo. Setelah teriakan reda dan massa bubar, ada etika lain yang sering diabaikan: membersihkan dan bertanggung jawab atas sisa aksi. Sampah yang berserakan, poster yang ditinggalkan, atau jalanan yang rusak adalah warisan buruk jika tidak dirawat kembali.
Selain itu, etika pasca demo juga mencakup cara melanjutkan perjuangan. Demonstrasi seharusnya bukan akhir, melainkan pintu masuk bagi jalur advokasi lain: dialog, menulis opini, membuat riset, hingga menggalang dukungan publik.
Aksi warga Pati pada Agustus 2025 bisa jadi contoh. Sekitar 85.000-100.000 orang turun menolak kenaikan PBB-P2 sebesar 250%. Aksi besar itu berlangsung relatif tertib, hingga akhirnya pemerintah daerah mencabut kebijakan. Perubahan nyata bisa dicapai tanpa kekerasan, justru karena aspirasi jelas dan etika sosial terjaga.
Solusi dan Usulan
Demo yang anarkis tidak bisa dibiarkan tumbuh menjadi tradisi, apalagi budaya. Ia harus dihentikan. Aspirasi yang disampaikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan luka sosial, bukan perubahan.
Agar etika berdemonstrasi tidak berhenti sebatas wacana, ada beberapa langkah nyata yang bisa ditempuh: