Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etika Berdemo yang Tidak Diajarkan di Sekolah

6 September 2025   10:08 Diperbarui: 5 September 2025   23:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Etika Personal

Etika kelima adalah etika personal. Setiap orang yang memutuskan turun ke jalan perlu punya kesadaran etika personal. Artinya, ia paham risiko, menjaga kesehatan, tidak membawa senjata atau barang berbahaya, dan tidak menyeret orang lain tanpa izin.

Etika personal juga berarti sadar bahwa ada keluarga menunggu di rumah. Banyak kisah pilu demonstrasi berakhir dengan korban luka bahkan meninggal. Perjuangan yang baik tidak seharusnya dibayar dengan hilangnya nyawa akibat emosi sesaat.

Etika Pasca Demo

Etika Keenam adalah pasca demo. Setelah teriakan reda dan massa bubar, ada etika lain yang sering diabaikan: membersihkan dan bertanggung jawab atas sisa aksi. Sampah yang berserakan, poster yang ditinggalkan, atau jalanan yang rusak adalah warisan buruk jika tidak dirawat kembali.

Selain itu, etika pasca demo juga mencakup cara melanjutkan perjuangan. Demonstrasi seharusnya bukan akhir, melainkan pintu masuk bagi jalur advokasi lain: dialog, menulis opini, membuat riset, hingga menggalang dukungan publik.

Aksi warga Pati pada Agustus 2025 bisa jadi contoh. Sekitar 85.000-100.000 orang turun menolak kenaikan PBB-P2 sebesar 250%. Aksi besar itu berlangsung relatif tertib, hingga akhirnya pemerintah daerah mencabut kebijakan. Perubahan nyata bisa dicapai tanpa kekerasan, justru karena aspirasi jelas dan etika sosial terjaga.

Pasca demonstrasi, mahasiswa memungut sampah yang berserakan, menjaga etika dan kebersihan ruang publik. (Sumber: KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR)
Pasca demonstrasi, mahasiswa memungut sampah yang berserakan, menjaga etika dan kebersihan ruang publik. (Sumber: KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR)

Solusi dan Usulan

Demo yang anarkis tidak bisa dibiarkan tumbuh menjadi tradisi, apalagi budaya. Ia harus dihentikan. Aspirasi yang disampaikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan luka sosial, bukan perubahan.

Agar etika berdemonstrasi tidak berhenti sebatas wacana, ada beberapa langkah nyata yang bisa ditempuh:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun