Kedua, partai politik harus berani keluar dari jebakan pragmatisme. Rekrutmen kader seharusnya berbasis kualitas, bukan sekadar kalkulasi elektoral. Popularitas memang bisa menjadi pintu masuk, tetapi tetap harus diimbangi dengan pembinaan yang serius agar figur publik tersebut benar-benar siap mengemban amanah rakyat.
Ketiga, media massa dan media sosial punya peran penting. Alih-alih hanya menyorot sisi sensasional artis di parlemen, media seharusnya lebih banyak mengulas substansi kerja politik mereka. Dengan begitu, publik bisa menilai lebih jernih.
Penutup: Demokrasi Bukan Panggung Hiburan
Kasus artis DPR dan tokoh politik populer yang belakangan mencuat hanyalah gejala dari persoalan yang lebih mendasar. Demokrasi kita masih berkutat pada sindrom popularitas. Jika tidak ada upaya serius untuk memperbaikinya, maka kualitas demokrasi akan terus merosot.
Demokrasi bukan panggung hiburan, melainkan ruang serius untuk merumuskan masa depan bangsa. Pertanyaannya kini: apakah kita mau masa depan politik Indonesia ditentukan oleh kedalaman gagasan dan rekam jejak, ataukah cukup oleh jumlah penggemar dan sorotan kamera?
Mari kita renungkan untuk Indonesia lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI