Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Kita dan Sindrom Popularitas: Belajar dari Kasus Artis DPR

3 September 2025   10:06 Diperbarui: 2 September 2025   02:07 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artis di DPR. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI)

Kedua, partai politik harus berani keluar dari jebakan pragmatisme. Rekrutmen kader seharusnya berbasis kualitas, bukan sekadar kalkulasi elektoral. Popularitas memang bisa menjadi pintu masuk, tetapi tetap harus diimbangi dengan pembinaan yang serius agar figur publik tersebut benar-benar siap mengemban amanah rakyat.

Ketiga, media massa dan media sosial punya peran penting. Alih-alih hanya menyorot sisi sensasional artis di parlemen, media seharusnya lebih banyak mengulas substansi kerja politik mereka. Dengan begitu, publik bisa menilai lebih jernih.

Penutup: Demokrasi Bukan Panggung Hiburan

Kasus artis DPR dan tokoh politik populer yang belakangan mencuat hanyalah gejala dari persoalan yang lebih mendasar. Demokrasi kita masih berkutat pada sindrom popularitas. Jika tidak ada upaya serius untuk memperbaikinya, maka kualitas demokrasi akan terus merosot.

Demokrasi bukan panggung hiburan, melainkan ruang serius untuk merumuskan masa depan bangsa. Pertanyaannya kini: apakah kita mau masa depan politik Indonesia ditentukan oleh kedalaman gagasan dan rekam jejak, ataukah cukup oleh jumlah penggemar dan sorotan kamera?

Mari kita renungkan untuk Indonesia lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun