Kasus Terkini Sebagai Cermin
Dikutip dari Tirto.id, tercatat dalam pelantikan DPR RI 2024-2029, dari total 580 anggota, ada sekitar 23 artis dari kalangan entertainment yang dilantik menjadi anggota DPR. Ini menjadi representasi nyata betapa kuatnya kapital popularitas dalam politik saat ini.
Polemik yang menimpa tiga artis DPR dan tokoh politik lain belakangan ini seharusnya menjadi cermin. Publik tidak perlu terjebak dalam gosip personal, melainkan melihatnya sebagai refleksi rapuhnya sistem politik kita.
Apakah kita akan terus membiarkan demokrasi terperangkap pada "panggung hiburan" semata? Apakah suara rakyat hanya menjadi hadiah bagi mereka yang paling populer, tanpa menimbang integritas dan kompetensi?
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa masalah bukan sekadar pada individu artis atau figur publik tertentu, melainkan pada kultur politik yang masih dangkal dan pragmatis.
Dampak bagi Demokrasi
Hasil penelitian dari Firdaus Yuni Dharta dalam jurnal unitomo.ac.id menunjukkan bahwa di pemilu 2024, influence selebriti dapat memengaruhi persepsi publik dan pilihan pemilih, terutama di kalangan pemilih muda dan mereka dengan keterikatan emosional terhadap figur publik.
Jadi, ketika parlemen dipenuhi figur populer tanpa kapasitas yang memadai, konsekuensinya jelas: kualitas demokrasi menurun. Fungsi legislasi bisa melemah, pengawasan terhadap eksekutif bisa longgar, dan aspirasi rakyat berisiko dipinggirkan.
Selain itu, generasi muda yang sedang tumbuh dalam era digital akan mendapat pesan keliru. Mereka bisa berpikir bahwa menjadi populer sudah cukup untuk meraih kekuasaan, tanpa perlu membangun kapasitas, integritas, dan visi kebangsaan.
Jalan Keluar: Dari Edukasi hingga Seleksi Partai
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, publik perlu meningkatkan literasi politik. Pemilih harus kritis dalam menilai kandidat, tidak hanya terpukau oleh nama besar, tetapi juga menimbang rekam jejak, visi, dan integritasnya.