Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Kita dan Sindrom Popularitas: Belajar dari Kasus Artis DPR

3 September 2025   10:06 Diperbarui: 2 September 2025   02:07 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artis di DPR. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI)

Beberapa waktu terakhir, publik kembali dihebohkan oleh isu yang menyeret sejumlah nama artis di parlemen. Polemik tersebut tak hanya memunculkan perbincangan hangat di media sosial, tetapi juga mengingatkan kita pada satu fenomena lama yang terus berulang: kecenderungan masyarakat memilih figur publik karena popularitas, bukan karena kapasitas.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Sejak era reformasi, wajah politik Indonesia sering diwarnai kehadiran selebritas yang sukses meraih kursi parlemen. Popularitas menjadi modal politik yang tampak paling menjanjikan. 

Dengan jutaan penggemar dan eksposur media yang melimpah, jalan menuju Senayan terbuka lebih lebar. Namun, pertanyaannya: sejauh mana popularitas tersebut benar-benar berbanding lurus dengan kualitas kinerja dan keberpihakan pada rakyat?

Popularitas sebagai Jalan Pintas Politik

Dalam demokrasi modern, popularitas memang tak bisa diabaikan. Seorang kandidat, siapa pun dia, membutuhkan pengakuan publik untuk bisa dipilih. Namun, persoalan muncul ketika popularitas dijadikan satu-satunya modal. 

Dalam banyak kasus, figur publik yang sebelumnya berkarier di dunia hiburan atau olahraga mendulang suara dengan cepat, meski rekam jejak politiknya minim.

Partai politik pun sering kali terjebak dalam pragmatisme. Alih-alih membina kader yang matang secara ideologi dan kompetensi, mereka memilih mengusung sosok terkenal demi mendulang suara. Alhasil, politik berubah menjadi ajang perburuan elektoral jangka pendek.

Sindrom Popularitas dalam Demokrasi

Apa yang kita hadapi ini bisa disebut sebagai "sindrom popularitas". Demokrasi yang sehat seharusnya menempatkan gagasan, rekam jejak, dan visi politik sebagai dasar utama pilihan rakyat. Namun, dalam praktiknya, demokrasi kita masih rentan ditentukan oleh pesona nama besar, jumlah pengikut media sosial, dan liputan infotainment.

Sindrom ini berbahaya karena mengikis substansi demokrasi. Politik seharusnya tentang representasi dan perjuangan kepentingan rakyat, bukan sekadar adu citra atau kompetisi branding personal. Jika yang terpilih lebih banyak karena ketenaran, maka kualitas legislasi, pengawasan, dan perumusan kebijakan bisa terabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun