Beberapa waktu terakhir, publik kembali dihebohkan oleh isu yang menyeret sejumlah nama artis di parlemen. Polemik tersebut tak hanya memunculkan perbincangan hangat di media sosial, tetapi juga mengingatkan kita pada satu fenomena lama yang terus berulang: kecenderungan masyarakat memilih figur publik karena popularitas, bukan karena kapasitas.
Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Sejak era reformasi, wajah politik Indonesia sering diwarnai kehadiran selebritas yang sukses meraih kursi parlemen. Popularitas menjadi modal politik yang tampak paling menjanjikan.Â
Dengan jutaan penggemar dan eksposur media yang melimpah, jalan menuju Senayan terbuka lebih lebar. Namun, pertanyaannya: sejauh mana popularitas tersebut benar-benar berbanding lurus dengan kualitas kinerja dan keberpihakan pada rakyat?
Popularitas sebagai Jalan Pintas Politik
Dalam demokrasi modern, popularitas memang tak bisa diabaikan. Seorang kandidat, siapa pun dia, membutuhkan pengakuan publik untuk bisa dipilih. Namun, persoalan muncul ketika popularitas dijadikan satu-satunya modal.Â
Dalam banyak kasus, figur publik yang sebelumnya berkarier di dunia hiburan atau olahraga mendulang suara dengan cepat, meski rekam jejak politiknya minim.
Partai politik pun sering kali terjebak dalam pragmatisme. Alih-alih membina kader yang matang secara ideologi dan kompetensi, mereka memilih mengusung sosok terkenal demi mendulang suara. Alhasil, politik berubah menjadi ajang perburuan elektoral jangka pendek.
Sindrom Popularitas dalam Demokrasi
Apa yang kita hadapi ini bisa disebut sebagai "sindrom popularitas". Demokrasi yang sehat seharusnya menempatkan gagasan, rekam jejak, dan visi politik sebagai dasar utama pilihan rakyat. Namun, dalam praktiknya, demokrasi kita masih rentan ditentukan oleh pesona nama besar, jumlah pengikut media sosial, dan liputan infotainment.
Sindrom ini berbahaya karena mengikis substansi demokrasi. Politik seharusnya tentang representasi dan perjuangan kepentingan rakyat, bukan sekadar adu citra atau kompetisi branding personal. Jika yang terpilih lebih banyak karena ketenaran, maka kualitas legislasi, pengawasan, dan perumusan kebijakan bisa terabaikan.