Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Antara Status Gengsi dan Realita Dompet Digital

28 Agustus 2025   23:07 Diperbarui: 29 Agustus 2025   04:23 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tertegun ketika mendengar seorang anak muda bercerita, "Saldo dompet digital saya sering kosong, tapi tetap saya pajang di media sosial bukti transaksi makan di kafe." Ungkapan sederhana itu menggambarkan fenomena baru: dompet digital kini bukan hanya alat transaksi, melainkan juga simbol gaya hidup.

Dalam beberapa tahun terakhir, dompet digital tumbuh pesat di Indonesia. Data Bank Indonesia mencatat pada tahun 2024, nilai transaksi uang elektronik di Indonesia menembus antara Rp1 kuadriliun hingga Rp2,5 kuadriliun, menandakan betapa masyarakat kini sangat akrab dengan ekosistem digital. 

Namun, di balik kenyamanan dan kemudahan itu, terselip persoalan sosial yang jarang dibicarakan: dompet digital berubah menjadi arena status dan gengsi.

Dompet Digital: Dari Fungsional ke Simbol Sosial

Awalnya, dompet digital dirancang sebagai sarana memudahkan pembayaran: tanpa uang tunai, tanpa ribet mencari kembalian, dan bisa melacak pengeluaran lebih transparan. Tetapi realita di lapangan berbeda.

Anak muda seringkali menjadikan dompet digital sebagai penanda kelas sosial baru. Saldo di dalamnya menjadi semacam "nilai prestise". Tidak sedikit yang rela melakukan top up berlebihan hanya untuk pamer bukti transfer saat mentraktir teman. Media sosial memperkuat tren ini: screenshot bukti pembayaran diunggah seolah menandai "aku mapan, aku eksis".

Padahal, bagi sebagian besar pengguna, dompet digital tidak selalu sejalan dengan isi rekening. Gengsi sering lebih besar daripada kemampuan finansial. Di titik ini, dompet digital mirip kartu kredit tempo dulu: membuat konsumsi lebih lancar, tetapi diam-diam menggerus daya tahan ekonomi.

Realita Dompet yang Terkuras

Fenomena ini berdampak nyata. Penelitian pendahuluan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 58 % Gen Z merasa perilaku konsumtifnya meningkat sejak menggunakan dompet digital, dipicu terutama oleh promo dan cashback. Data eksperimen juga mengungkap bahwa pembayaran digital cenderung mendorong pengeluaran dibanding uang tunai."

Penyebabnya bukan sekadar kemudahan transaksi, melainkan juga dorongan impulsif: promosi "cashback", diskon eksklusif, hingga notifikasi belanja yang terus menerus memicu keinginan konsumtif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun