Di tepi jalan raya yang menghubungkan Bandar Lampung dan Lampung Selatan, berdiri sebuah pasar yang seolah tak pernah tidur: Pasar Jati Mulyo. Sekilas, ia tampak biasa. Lapak-lapak berjejer di pinggir jalan, payung-payung warna-warni menaungi pedagang, motor parkir sembarangan, dan interaksi pembeli dan penjual yang hangat.
Namun jika diamati lebih dekat, pasar ini bukan sekadar ruang transaksi. Ia adalah simpul kehidupan: ruang ekonomi, sosial, sekaligus budaya yang terus hidup, bahkan ketika pusat perbelanjaan modern kian menjamur.
Ulasan ini saya tulis untuk menepati janji pada artikel sebelumnya yang sudah tayang di Kompasiana (18/08/2025) dan menjadi Artikel Utama dengan judul Dari Jalan Kaki Hingga Kantong Belanja Penuh: Ritme Pagi di Pasar Way Kandis, yakni akan mengulas lebih dalam tentang pasar yang satu ini. Bagi keluarga kami, Pasar Jati Mulyo punya kedekatan tersendiri. Letaknya hanya sekitar 3 km dari rumah, atau sekitar 9 menit perjalanan dengan sepeda motor.
Dalam keseharian, kami membagi kebutuhan rumah tangga ke tiga pasar tradisional berbeda. Untuk kebutuhan mingguan, kami biasanya berbelanja di Pasar Mandiri Way Kandis. Jika ada kebutuhan mendesak yang bisa dibeli sore hingga malam hari, pilihan kami jatuh ke Pasar Jati Mulyo. Sementara untuk kebutuhan khusus seperti membeli daging segar, menggiling daging, atau menggiling kopi, kami lebih sering ke Pasar Way Halim.
Pembagian ini bukan hanya soal praktis dan hemat, tetapi juga menjadi cara sederhana kami untuk tetap mendukung perputaran ekonomi pasar tradisional agar tetap hidup. Ribet? Tidak.
Dari Tempel ke Simpul Strategis
Pasar Jati Mulyo hanya berjarak 2 km dari Pasar Mandiri Way Kandis. Meskipun berdekatan, kedua pasar ini tetap hidup, saling mendukung, dan tidak pernah ada "tawuran pasar". Justru keberadaan keduanya memperlihatkan dinamika ekonomi lokal yang unik: satu pasar tumbuh dengan konsep tradisional, sementara yang lain berkembang dengan sistem lebih modern.
Pasar Jati Mulyo dulunya hanyalah pasar tempel sederhana, tempat warga sekitar membeli kebutuhan pokok. Namun, letaknya yang strategis di jalur utama penghubung kota dan kabupaten serta dekat dengan pintu Tol Kota Baru. Hal ini membuatnya tumbuh pesat.
Kini, pasar ini bukan lagi sekadar pasar kampung. Ia telah menjelma menjadi titik distribusi hasil bumi. Setiap hari, sayuran dari Metro, Lampung Timur, dan berbagai desa lain mengalir masuk, bahkan juga dari Kabupaten Pesawaran. Hal ini saya ketahui secara tak sengaja ketika seorang teman SMP istri saya mampir ke rumah. Ia datang karena tahu Pasar Jati Mulyo dekat dengan tempat tinggal kami, dan ternyata ia kini menjadi salah satu pemasok sayuran di sana.
Sebuah kebetulan yang manis-setelah puluhan tahun tak pernah bertemu sejak lulus SMP, akhirnya dipertemukan kembali melalui pasar yang terus hidup dan berkembang.
Dari Pasar Jati Mulyo, sayur itu kembali berpindah tangan: ke pedagang besar, pengecer, bahkan pedagang keliling. Rantai distribusi ini membuat denyut ekonomi rakyat benar-benar terasa, hidup, dan nyata.
Kini, Pasar Jati Mulyo telah bertransformasi menjadi simpul strategis perekonomian warga. Aktivitasnya berlangsung hampir 24 jam, dengan ritme yang berbeda di tiap waktunya.
Skala Ekonomi: Potret Pasar di Lampung
Apa yang terjadi di Jati Mulyo hanyalah potongan dari peta besar pasar tradisional Lampung. Data tahun 2022 mencatat ada 118 pasar tradisional di provinsi ini dengan jumlah pedagang mencapai 41.806 orang. Itu artinya puluhan ribu keluarga menggantungkan hidupnya pada denyut pasar.
Pemerintah juga berupaya menghidupkan pasar ini melalui program revitalisasi. Antara tahun 2017-2023, sudah ada 96 pasar tradisional di Lampung yang diperbaiki dengan dana pusat maupun daerah. Salah satunya, Pasar Natar di Lampung Selatan, dibangun ulang di atas lahan seluas 6.462 m², mampu menampung hingga 799 pedagang, dengan anggaran lebih dari Rp46 miliar.
Namun, pertanyaannya: apakah pasar yang direvitalisasi itu selalu ramai?
Kehangatan yang Tak Terganti
Jawabannya tidak sesederhana iya atau tidak. Sebab pasar tradisional punya ruh kehangatan yang sering hilang ketika wajahnya diganti menjadi modern. Secara pribadi, saya merasakan hal ini. Beberapa pasar yang saya kenal, begitu dirombak menjadi bangunan rapi, justru malah sepi pengunjung.
Di Pasar Jati Mulyo, ruh itu masih hidup. Pedagang menyapa pembeli dengan akrab, tawar-menawar berlangsung penuh canda. “Pas, Bu, kalau kurang lagi saya pulang bawa karung kosong,” ujar seorang pedagang sambil tertawa. Pembeli pun tersenyum, akhirnya sepakat di harga tengah. Itu bukan sekadar transaksi, tapi relasi.
Bahasa dan budaya pun bercampur di sini: ada logat Jawa halus, suara lantang khas Lampung, gurauan dengan nada Sunda. Semua lebur jadi satu. Pasar ini adalah miniatur pertemuan budaya, tempat orang dari latar berbeda merasa setara sebagai pembeli dan penjual yang saling membutuhkan.
Uniknya, Jati Mulyo hidup nyaris 24 jam. Dini hari, sekitar pukul 02.00 - 04.00, mobil pick-up penuh sayuran masuk ke pasar. Pedagang sibuk bongkar muatan, transaksi grosir berlangsung cepat. Saat matahari naik, giliran ibu-ibu rumah tangga dan pedagang kecil yang ramai berbelanja.
Siang hingga sore, pasar tetap hidup dengan lapak pakaian murah, sandal, alat rumah tangga, dan jajanan anak. Malam hari, kehidupan bergeser ke kuliner: bakso, sate, gorengan, dan kopi panas menemani obrolan santai pembeli. Dari subuh hingga larut malam, denyut itu tidak pernah benar-benar padam.
Sisi Lain: Kemacetan & Sampah
Namun, Jati Mulyo juga menyimpan wajah lain. Karena lapak menjorok ke jalan, kemacetan kerap terjadi. Kendaraan harus melambat, kadang tersendat lama. Uniknya, pasar ini berada di dua sisi jalan yaitu kanan dan kiri sehingga seluruh ruas jalan dipenuhi aktivitas jual beli. Ramai, tetapi sekaligus menantang.
Sampah pun jadi masalah klasik: sisa sayur, plastik, hingga kertas menumpuk di sudut-sudut, menyisakan pekerjaan tambahan bagi petugas kebersihan. Inilah dilema pasar tradisional: vital untuk ekonomi rakyat, tetapi juga menghadirkan tantangan dalam hal tata kelola.
Pasar Tradisional vs Modern: Dilema Revitalisasi
Bagi banyak orang, pasar modern menawarkan kenyamanan: parkir luas, pendingin ruangan, kebersihan terjaga. Tetapi ada sesuatu yang hilang - kehangatan manusiawi. Tawar-menawar berganti dengan harga pas di etalase, sapaan akrab berganti dengan senyum formal.
Jadi, meski digitalisasi merambah, pasar tradisional tetap jadi ruang utama untuk kebutuhan pokok, karena hanya di sanalah orang bisa bertemu langsung dengan penjual, menyentuh barang, merasakan kesegaran, sekaligus membangun relasi.
Menjaga Kehidupan, Bukan Hanya Bangunan
Pasar Jati Mulyo, dengan segala dinamika dan kekurangannya, adalah simbol nyata bahwa ekonomi rakyat masih berdetak di ruang tradisional. Menurutku ini adalah salah satu pasar ikonik. Ia bukan hanya tempat belanja, melainkan ruang sosial yang mengikat warga dalam interaksi hangat.
Ada pedagang kecil yang bisa menyekolahkan anaknya dari hasil jualan sayur. Ada pembeli yang menemukan kebahagiaan sederhana dari tawar-menawar. Ada relasi sosial yang tidak ditemukan di mall modern.
Ke depan, pengelolaan pasar ini tentu perlu diperbaiki: kemacetan diurai, sampah dikelola, lahan parkir disiapkan, fasilitas publik ditingkatkan. Tetapi satu hal penting: jangan sampai roh kebersamaan pasar tradisional hilang hanya demi bangunan yang rapi.
Pasar Jati Mulyo adalah bukti bahwa kehidupan rakyat masih hidup di jalanan, di lapak sederhana, di obrolan kecil yang kadang remeh tapi hangat. Ia adalah nadi kehidupan yang menyatukan ekonomi, budaya, dan manusia dalam satu ruang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI