Efek Anonimitas: Berani Karena Tidak Terlihat
Di balik helm atau kaca mobil, identitas kita terlindungi. Kondisi ini membuat orang cenderung lebih berani melakukan hal yang mungkin tidak akan dilakukan dalam interaksi langsung.
Seperti penumpang kereta yang menelepon keras-keras seolah rapat direksi, di jalan pun banyak yang klakson panjang atau memaki lewat kaca mobil, karena yakin tidak akan bertemu lagi dengan orang itu. Padahal, tetap saja, gangguan kecil bisa merusak kenyamanan banyak orang.
Budaya Jalan dan Kebiasaan Kolektif
Lingkungan membentuk perilaku. Kalau sudah terbiasa melihat orang melanggar lampu merah, pelan-pelan kita akan menganggap itu lumrah. Kalau sudah biasa melihat orang membuka pintu mobil sembarangan tanpa melihat spion, kita mungkin tak lagi terkejut.
Sama seperti di transportasi umum, kalau sering melihat orang pura-pura tidur agar tak memberi kursi pada yang membutuhkan lama-lama kita berhenti merasa itu salah. Padahal, inilah benih-benih hilangnya etika di ruang publik.
Renungan di Lampu Merah
Lampu merah itu bukan sekadar garis putih di jalan. Bagi saya, ia adalah jeda, detik-detik yang bisa digunakan untuk menarik napas dalam-dalam, menenangkan hati, dan menyadari bahwa di sekeliling kita, setiap orang punya cerita dan urusan masing-masing.
Sambil menunggu lampu hijau, saya teringat pengalaman beberapa tahun lalu yang melekat kuat hingga sekarang. Waktu itu saya sedang mengendarai sepeda motor untuk berangkat kerja. Jalan macet seperti biasanya, sabar menunggu lajur depan sedikit bergerak. Tiba-tiba, dari arah berlawanan terdengar suara keras dari mobil mewah:
"Maju… maju… maju… bisa nggak maju?!"
Saya terkejut. Siapa dia? Motor saya sendiri bahkan tak bisa bergerak karena macet, apalagi mobilnya. Dengan spontan saya menjawab, "Nggak bisa pak, ini macet."