Generasi ini tidak butuh ruang sunyi, mereka butuh ruang yang memberi makna. Dan perpustakaan bisa menjadi tempat itu, jika kita berani mengubahnya menjadi lebih dari sekadar gudang buku. Tapi menjadi kompas intelektual di zaman yang sering kehilangan arah.
Transformasi Visual dan Ruang yang Mengundang
Tampilan visual sangat penting untuk menarik perhatian Gen Z. Mereka hidup di era desain yang estetik, warna yang ceria, dan tata letak yang ramah kamera. Jika ruang kelas dan ruang guru sudah berbenah, mengapa perpustakaan tidak?
Bayangkan rak-rak buku yang ditata seperti feed Instagram: tematik, dengan warna-warni menarik dan penataan yang "Instagramable." Buku ditampilkan seperti produk pameran: ada buku pilihan mingguan, zona buku trending, hingga koleksi "dibaca oleh alumni sukses".
Pojok-pojok membaca diberi beanbag, kursi gantung, atau meja lesehan. Dinding tidak harus polos bisa dihias dengan kutipan inspirasional, mural literasi, atau hasil karya siswa. Cahaya alami ditambah lampu hangat bisa membuat suasana jauh lebih nyaman dan mengundang.
Apalagi jika dilengkapi dengan fasilitas pendukung: WiFi cepat, colokan charger di setiap sudut, dan sistem peminjaman yang cepat dan digital.
Pustakawan = Fasilitator Literasi
Peran pustakawan juga harus di-upgrade. Pustakawan bukan sekadar penjaga buku atau pencatat peminjaman. Ia adalah fasilitator literasi orang yang mampu menjembatani siswa dengan sumber pengetahuan, baik cetak maupun digital.
Pustakawan harus punya peran aktif dalam membantu siswa memilih bahan bacaan yang sesuai minat, mengajarkan cara mencari referensi terpercaya, bahkan menjadi mentor dalam program penulisan kreatif atau riset mini. Di sekolah yang lebih maju, pustakawan bahkan menjadi kurator konten digital dan menyusun newsletter literasi mingguan.
Pustakawan masa kini bisa menjadi ikon literasi sekolah: aktif di media sosial sekolah, membuat konten edukatif, dan menjadi wajah ramah yang membuat siswa betah datang.