Konsep Standing for Learning bukan hanya tentang tubuh yang berdiri, tapi sikap batin yang hadir sepenuhnya untuk murid.
Berdiri di sini merupakan tindakan simbolik bahwa guru:
- Menyediakan ruang aman bagi siswa.
- Siap menyambut bukan hanya fisik mereka, tapi juga emosi, kelelahan, dan semangat mereka.
- Menolak sistem pendidikan yang terlalu kaku dan berjarak.
Sayangnya, ketika “guru berdiri menyambut siswa” berubah menjadi proyek pencitraan sekolah, semangat ini bisa terkikis.
Alih-alih menjadi pernyataan cinta, ia bisa turun derajat menjadi panggung promosi. Foto-foto guru menyambut siswa menjadi konten media sosial, bukan refleksi nilai.
Antara Tren, Branding, dan Ketulusan
Tentu saja, bisa saja berdiri menyambut siswa dilakukan karena tekanan sistem atau demi pencitraan. Ada sekolah yang menjadikannya “program unggulan” lengkap dengan tagar dan dokumentasi harian. Dan itu tidak salah, karena semua juga perlu didokumentasikan.
Namun, niat tak pernah bisa diukur dari luar. Yang penting adalah kesadaran di balik tindakan.
Ketika guru berdiri dengan hati, yang tercipta adalah investasi emosional, bukan sekadar tontonan. Interaksi pagi yang tampak sepele itu bisa menjadi penyambung jiwa antara guru dan siswa.
Seperti kata Clara, siswi kelas X di sebuah sekolah negeri:
“Pastinya saya senang, Pak, karena sebelum mulai pelajaran bisa bertemu guru-guru yang menyambut dengan hangat. Terus juga saya jadi lebih semangat pak karena sudah bertemu dengan guru.”
Sungguh jawaban yang polos namun menyentuh karena Ia menyampaikan itu dengan senyum tulus. Dan saya percaya, itulah yang akan terus diingatnya hingga ia dewasa kelak.
Berdiri Bukan Gaya, Tapi Cara Menyentuh Hati
Maka jika Anda bertanya, “Berdiri menyambut siswa itu bagian dari investasi, branding, atau gaya-gayaan?”
Jawaban saya: Bisa ketiganya, tergantung niat dan kesadarannya. Dan tentu ini sudah sangat baik, dibandingkan tidak melakukan sama sekali.
Tapi mari hal ini terus dilakukan agar ini tidak berhenti menjadi sebuah rutinitas harian kolektif, apalagi sekadar sebagai ajang pencitraan.