Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari 'Seen' ke 'Heard': Evolusi Silent Reader di Grup WA

15 Juli 2025   21:54 Diperbarui: 15 Juli 2025   20:29 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Silent Listener. Sumber: Dok. Pribadi/Dibuat dengan AI

Dari ‘Seen’ ke ‘Heard’: Evolusi Silent Reader di Grup WA

Di era komunikasi digital, kita mengenal satu jenis penghuni grup WhatsApp yang khas, entah itu di grup keluarga, komunitas, kerja tim, sampai grup RT: Silent Reader - mereka yang hadir, menyimak, tapi tak pernah menyuarakan pendapat. Tidak menanggapi obrolan, tidak menjawab pertanyaan, bahkan ketika ditandai pun tetap bungkam. 

Ironisnya, saat mereka membutuhkan sesuatu, mereka bisa mendadak aktif dan menyita perhatian. Seolah berkata: “Saya tidak pernah ada, kecuali kalau saya perlu.” Tapi giliran gak sesuai keinginan... langsung komplain keras. Seolah-olah grup itu hanya ada untuk memenuhi kebutuhannya, bukan ruang bersama yang butuh partisipasi.

Mereka ini seperti bayangan di grup. Statusnya terlihat online, kadang menyentuh notifikasi, tapi tak pernah benar-benar ikut bicara. Bahkan ketika dijapri, balasannya sangat singkat, nyaris dingin, seperti mengetik dengan rasa terpaksa. Tidak jarang, ketika ditanya, balasannya hanya: "OK." atau "Sip."atau "siap." dan... selesai. Datar, tanpa empati dan tanpa antusiasme.

Dalam dinamika komunitas digital seperti grup WA keluarga, kerja, RT, panitia, alumni, atau komunitas sosial, keberadaan silent reader yang seperti ini sebenarnya menjadi beban sosial terselubung. Mereka:

  • Tidak membantu menyelesaikan masalah grup.
  • Tidak menunjukkan solidaritas digital.
  • Tapi tetap menikmati hasil kerja atau keputusan grup.

Evolusi dari ‘Seen’ ke ‘Heard

Kini WhatsApp meluncurkan fitur baru: Chat Audio Grup, di mana semua anggota bisa bergabung dalam percakapan audio secara langsung. Ini seperti walkie talkie digital. Harapannya, fitur ini menghidupkan kembali suasana grup yang kaku dan sunyi. Namun, apakah akan berhasil?

Tangkapan Layar Notifikasi WhatsApp Tentang Fitur Baru Chat Audio. Sumber: Dokumen Pribadi/Tupari
Tangkapan Layar Notifikasi WhatsApp Tentang Fitur Baru Chat Audio. Sumber: Dokumen Pribadi/Tupari

Ternyata, muncul bentuk baru dari keheningan digital: Silent Listener. Mereka tidak lagi sekadar ‘membaca’, tapi mendengarkan tanpa suara. Ikut dalam obrolan audio, tapi tetap membisu. Mikrofon mereka tetap mati dari awal hingga akhir. Tidak ada “halo”, tidak ada “iya”, tidak ada partisipasi.

Keberadaan Digital Setengah Hati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun