Menakar Perasaan: Saat Tulisan Tak (Juga) Dilirik Editor
Â
Kita menulis karena ingin menyuarakan, ingin berbagi, ingin didengar. Tapi di balik itu, ada juga hasrat yang tak selalu diakui dengan jujur: kita ingin tulisan kita dilirik, dibaca banyak orang, atau - jika mungkin - dijadikan headline.
Apalagi saya yang masih berada di level Debutan-level awal di Kompasiana yang belum punya jejak panjang atau pengikut banyak. Rasanya seperti mengetuk pintu yang belum tentu dibuka. Namun dari situlah saya belajar: tulisan tak selalu harus viral untuk punya makna.
Saya pun merasakannya. Setiap kali mengunggah tulisan, ada harap-harap cemas yang menyertai. Bukan semata soal berapa jumlah pembaca, tapi lebih pada validasi: apakah tulisan ini cukup layak? Apakah pesan ini sampai? Dan terutama - apakah editor Kompasiana akan memilihnya sebagai artikel utama?
Refleksi Seorang Debutan
Saya tahu saya masih di tahap awal. Tapi justru karena itu, setiap proses terasa lebih jujur. Tak ada yang instan. Dan saya belajar bahwa tulisan terbaik bukan yang paling banyak dibaca, tapi yang paling banyak membuat kita bertumbuh.
Saya menulis bukan untuk headline semata, tapi untuk memahami diri, untuk belajar menangkap dunia, dan untuk tetap waras di tengah bisingnya hidup.
Headline itu penting. Tapi proses di baliknya - itu jauh lebih mahal harganya.
Di Balik Headline: Harapan Kecil yang Besar
Menjadi artikel pilihan atau headline di Kompasiana sering kali terasa seperti hadiah yang membuktikan bahwa tulisan kita tidak sekadar numpang lewat. Ia diapresiasi, dipajang, dan dibaca lebih luas. Tapi ketika tulisan itu lewat begitu saja - tanpa label "Pilihan Editor" atau "Artikel Utama" - rasa kecewa pun menyelinap.