Istilah quiet quitting mungkin terdengar seperti tren baru di kalangan pekerja, namun esensinya telah lama ada di berbagai sudut ruang kerja, hanya saja kini mendapatkan sorotan yang lebih terang.Â
Quiet quitting bukan berarti benar-benar berhenti dari pekerjaan, melainkan memilih untuk tidak melakukan lebih dari yang diminta dalam deskripsi pekerjaan resmi.Â
Karyawan yang mengadopsi sikap ini tetap hadir, menyelesaikan tugas sesuai tanggung jawab mereka, namun menolak terlibat lebih jauh dalam hal-hal yang mereka anggap melebihi batas kewajiban tanpa kompensasi yang sepadan.
Fenomena ini mulai mencuat pasca pandemi, ketika banyak orang melakukan refleksi mendalam tentang prioritas hidup mereka.Â
Bagi sebagian orang, bekerja berlebihan tanpa kejelasan penghargaan atau imbalan bukan lagi sesuatu yang bisa diterima begitu saja.Â
Masa-masa penuh ketidakpastian membuat banyak individu menyadari pentingnya kesehatan mental, waktu untuk keluarga, dan keseimbangan antara kehidupan pribadi serta profesional.Â
Tidak mengherankan jika tren ini mendapatkan momentum di era di mana hustle culture—budaya yang mengglorifikasi kerja keras tanpa henti—mulai dipertanyakan relevansinya.
Namun, quiet quitting memunculkan perdebatan yang cukup panas di kalangan profesional. Sebagian pihak melihatnya sebagai bentuk protes diam-diam terhadap sistem kerja yang eksploitatif.Â
Karyawan merasa lelah karena ekspektasi yang tak berujung, kurangnya penghargaan, dan budaya kerja yang menempatkan dedikasi sebagai tolok ukur loyalitas tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pribadi.Â
Mereka merasa sudah cukup memberikan waktu dan tenaga sesuai perjanjian kerja, dan tidak ada kewajiban moral untuk melakukan lebih dari itu.Â
Dalam konteks ini, quiet quitting adalah upaya untuk menetapkan batasan yang sehat, sebuah bentuk perlawanan pasif terhadap tekanan yang tak masuk akal.
Namun di sisi lain, ada yang menganggap quiet quitting sebagai tanda menurunnya etos kerja. Beberapa pemimpin perusahaan melihatnya sebagai ancaman bagi produktivitas dan kolaborasi tim.Â
Mereka berargumen bahwa semangat kerja yang melampaui batas formal adalah bagian dari sikap profesionalisme, terutama dalam lingkungan yang dinamis.Â
Bagi mereka, karyawan yang hanya melakukan "sekadar cukup" dianggap kurang memiliki inisiatif, tidak berjiwa kepemimpinan, atau bahkan berkontribusi pada budaya kerja yang stagnan.
Faktor-faktor yang mendorong munculnya quiet quitting tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan psikologis yang lebih luas.Â
Stres kerja yang kronis, tekanan untuk selalu "tersedia" dalam era digital, serta kurangnya apresiasi dari atasan menjadi pemicunya.Â
Riset menunjukkan bahwa karyawan yang merasa dihargai dan didukung secara emosional cenderung lebih terlibat dalam pekerjaannya.Â
Sebaliknya, lingkungan kerja yang dingin, penuh tuntutan tanpa timbal balik, dan minim ruang untuk berkembang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sikap apatis.
Dampaknya terhadap perusahaan bisa beragam. Di satu sisi, quiet quitting dapat menurunkan semangat tim, menghambat inovasi, dan membuat lingkungan kerja terasa kurang hidup.Â
Namun, di sisi lain, fenomena ini bisa menjadi alarm yang menunjukkan adanya masalah sistemik dalam manajemen sumber daya manusia.Â
Daripada sekadar mengkritik sikap karyawan, mungkin sudah saatnya perusahaan merenungkan apakah budaya kerja yang diterapkan selama ini benar-benar sehat dan berkelanjutan.
Pendekatan untuk menghadapi quiet quitting tidak bisa diselesaikan hanya dengan meminta karyawan untuk "lebih bersemangat."Â
Dibutuhkan perubahan paradigma, di mana perusahaan tidak hanya fokus pada target, tetapi juga pada kesejahteraan individu di dalamnya.Â
Memberikan ruang untuk dialog terbuka, menciptakan lingkungan yang menghargai kontribusi kecil sekalipun, serta memastikan beban kerja yang wajar adalah langkah awal yang dapat diambil.
Bagi karyawan, quiet quitting juga bisa menjadi refleksi tentang apa yang benar-benar mereka cari dalam karier.Â
Apakah ini hanya bentuk pelarian dari lingkungan kerja yang toksik, atau sinyal bahwa mereka membutuhkan tantangan baru yang lebih sesuai dengan passion?Â
Dalam banyak kasus, komunikasi yang jujur antara karyawan dan manajemen bisa menjadi jembatan untuk menemukan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Pada akhirnya, quiet quitting bukan sekadar tren sesaat. Ia adalah cerminan dari perubahan nilai-nilai dalam dunia kerja modern.Â
Alih-alih melihatnya sebagai masalah, kita bisa memanfaatkannya sebagai peluang untuk menciptakan budaya kerja yang lebih manusiawi, di mana keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan pribadi berjalan beriringan.
Karena pada akhirnya, perusahaan yang sukses bukan hanya tentang angka-angka, tetapi juga tentang bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang berada di balik pencapaian tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI