Pendekatan untuk menghadapi quiet quitting tidak bisa diselesaikan hanya dengan meminta karyawan untuk "lebih bersemangat."Â
Dibutuhkan perubahan paradigma, di mana perusahaan tidak hanya fokus pada target, tetapi juga pada kesejahteraan individu di dalamnya.Â
Memberikan ruang untuk dialog terbuka, menciptakan lingkungan yang menghargai kontribusi kecil sekalipun, serta memastikan beban kerja yang wajar adalah langkah awal yang dapat diambil.
Bagi karyawan, quiet quitting juga bisa menjadi refleksi tentang apa yang benar-benar mereka cari dalam karier.Â
Apakah ini hanya bentuk pelarian dari lingkungan kerja yang toksik, atau sinyal bahwa mereka membutuhkan tantangan baru yang lebih sesuai dengan passion?Â
Dalam banyak kasus, komunikasi yang jujur antara karyawan dan manajemen bisa menjadi jembatan untuk menemukan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Pada akhirnya, quiet quitting bukan sekadar tren sesaat. Ia adalah cerminan dari perubahan nilai-nilai dalam dunia kerja modern.Â
Alih-alih melihatnya sebagai masalah, kita bisa memanfaatkannya sebagai peluang untuk menciptakan budaya kerja yang lebih manusiawi, di mana keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan pribadi berjalan beriringan.
Karena pada akhirnya, perusahaan yang sukses bukan hanya tentang angka-angka, tetapi juga tentang bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang berada di balik pencapaian tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI