Dalam konteks ini, quiet quitting adalah upaya untuk menetapkan batasan yang sehat, sebuah bentuk perlawanan pasif terhadap tekanan yang tak masuk akal.
Namun di sisi lain, ada yang menganggap quiet quitting sebagai tanda menurunnya etos kerja. Beberapa pemimpin perusahaan melihatnya sebagai ancaman bagi produktivitas dan kolaborasi tim.Â
Mereka berargumen bahwa semangat kerja yang melampaui batas formal adalah bagian dari sikap profesionalisme, terutama dalam lingkungan yang dinamis.Â
Bagi mereka, karyawan yang hanya melakukan "sekadar cukup" dianggap kurang memiliki inisiatif, tidak berjiwa kepemimpinan, atau bahkan berkontribusi pada budaya kerja yang stagnan.
Faktor-faktor yang mendorong munculnya quiet quitting tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan psikologis yang lebih luas.Â
Stres kerja yang kronis, tekanan untuk selalu "tersedia" dalam era digital, serta kurangnya apresiasi dari atasan menjadi pemicunya.Â
Riset menunjukkan bahwa karyawan yang merasa dihargai dan didukung secara emosional cenderung lebih terlibat dalam pekerjaannya.Â
Sebaliknya, lingkungan kerja yang dingin, penuh tuntutan tanpa timbal balik, dan minim ruang untuk berkembang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sikap apatis.
Dampaknya terhadap perusahaan bisa beragam. Di satu sisi, quiet quitting dapat menurunkan semangat tim, menghambat inovasi, dan membuat lingkungan kerja terasa kurang hidup.Â
Namun, di sisi lain, fenomena ini bisa menjadi alarm yang menunjukkan adanya masalah sistemik dalam manajemen sumber daya manusia.Â
Daripada sekadar mengkritik sikap karyawan, mungkin sudah saatnya perusahaan merenungkan apakah budaya kerja yang diterapkan selama ini benar-benar sehat dan berkelanjutan.