Mungkinkah seekor serigala tulus menjaga kandang domba? Jawabannya tentu: tidak. Dari sanalah kita bisa melihat wajah getir politik kita.
RUU Perampasan Aset sudah lama menjadi bahan perbincangan, bahkan berkali-kali disebut dalam program legislasi prioritas. Namun setiap kali sampai di meja pembahasan, ia selalu mentok. Mandek tanpa kejelasan. Padahal di luar gedung parlemen, korupsi terus menjadi kanker yang menggerogoti tubuh bangsa.
Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, menyediakan layanan kesehatan, dan memperbaiki infrastruktur justru mengalir ke rekening pribadi para pejabat rakus.
Ironisnya, hukuman penjara bagi para koruptor sering kali tidak lebih dari "resort eksklusif" dengan fasilitas mewah.
Di tengah rasa muak itu, rakyat menginginkan satu hal: keadilan yang nyata. Bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga pemiskinan terhadap mereka yang telah merampas hak rakyat. Di sinilah RUU Perampasan Aset menjadi simbol harapan sekaligus sumber ketakutan.
Perbedaan yang Mengubah Permainan
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun mekanismenya rumit: penyitaan aset hanya bisa dilakukan setelah ada vonis pengadilan.Â
Prosesnya juga panjang, penuh celah hukum, dan sering berujung pada kekebalan bagi para pencuri uang negara. Jika koruptor melarikan diri, meninggal dunia, atau lolos dari jeratan hukum, aset haram mereka tetap aman.
RUU Perampasan Aset hadir untuk menutup celah itu. Konsepnya jelas: pemisahan antara hukuman pidana dengan perampasan aset.
Artinya, negara tidak lagi bergantung pada vonis pidana. Selama ada bukti kuat bahwa harta seseorang tidak wajar dan patut diduga hasil kejahatan, negara berhak merampasnya, bahkan jika pemiliknya kabur atau sudah tiada. Inilah perampasan aset non-pidana (non-conviction based asset forfeiture).
Bayangkan seorang pejabat dengan gaji terbatas, tetapi memiliki rumah mewah di berbagai kota, koleksi mobil eksotis, dan rekening miliaran rupiah. Dengan RUU ini, negara bisa bertanya: "Dari mana uangmu?" Jika ia tidak bisa membuktikan asal-usul sah kekayaannya, aset itu bisa disita.