Di banyak rumah, makan malam adalah peristiwa sederhana yang terasa biasa. Meja makan penuh dengan hidangan: nasi putih hangat mengepul, lauk-pauk beragam, sup sayur, ayam goreng, sambal, kerupuk, mungkin buah sebagai penutup.
Anak-anak duduk sambil bercerita tentang sekolah, orang tua menanggapi dengan senyum, lalu obrolan berkembang: besok mau masak apa, kapan liburan, siapa yang ulang tahun.Â
Kadang ada keluhan kecil: sayur terlalu asin, ayam terlalu kering, atau bosan dengan menu itu-itu saja. Sebagian makanan tersisa, masuk ke tong sampah, tanpa banyak dipikirkan.
Begitulah meja makan: hangat, penuh pilihan, dan nyaris selalu tersedia.
Namun, beberapa kilometer dari meja itu, ada "meja makan" lain, jika itu layak disebut meja. Di kolong jembatan, di tempat gelap dan lembab, keluarga-keluarga tersisih mencoba bertahan hidup.
~~~
Malam itu, suara kendaraan menderu dari atas, truk besar dan motor berkejaran. Lantai semen dingin dipakai sebagai alas tidur, ditutup kardus bekas yang lembab. Bau got menyengat, bercampur debu dan sisa sampah dari pasar.
Pak Hasan, seorang pemulung, pulang dengan karung goni di pundaknya. Isinya botol plastik dan kaleng berkarat, dikumpulkan seharian dari tong sampah. Bajunya lusuh, tubuhnya basah oleh keringat dan gerimis. Dari hasil memulung, ia mendapat uang pas-pasan, cukup untuk membeli sebungkus nasi.
Hanya satu bungkus.
Istrinya, Maryam, membuka bungkusan kertas coklat yang lembap. Di dalamnya: nasi dingin, sambal encer, sepotong tempe goreng kecil. Tidak lebih. Mereka punya dua anak: Lila, sembilan tahun, dan Adit, enam tahun.