Wakil Rakyat Harus Jadi Penjaga Moral, Bukan Sekadar Juru Bicara
AI tidak memiliki empati. Ia tidak bisa memahami rasa takut seorang ibu yang anaknya tak bisa sekolah karena pungutan liar. Ia tak bisa menangkap harapan sunyi dari desa yang sinyal internetnya masih putus-putus.
Data bisa menunjukkan tren, tapi tidak selalu bisa menjelaskan mengapa.
Wakil rakyat, jika dijalankan dengan benar, adalah perwakilan moral. Ia bukan hanya mendengar suara yang keras, tapi juga yang sunyi. Ia seharusnya:
- Memahami konteks sosial dan budaya dari aspirasi rakyat.
- Membela minoritas ketika mayoritas melupakan.
- Menjembatani antara logika kebijakan dan etika kemanusiaan.
Saatnya Bertransformasi, Bukan Menghilang
Artinya, wakil rakyat tidak harus hilang. Tapi mereka harus berubah. Mereka tidak bisa lagi bekerja seperti era sebelum internet. Mereka harus:
- Melek teknologi dan data.
- Transparan dalam proses legislasi.
- Berani membuka ruang kolaborasi dengan publik digital.
- Mengawasi penggunaan AI, bukan takut digantikan olehnya.
Demokrasi masa depan bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi DPR, tapi siapa yang bisa membaca zaman dan bertindak dengan kebijaksanaan.
Demokrasi tanpa Nurani adalah Bencana
AI bisa membaca pola, tapi tidak bisa menafsirkan makna hidup. Ia bisa menciptakan sistem yang efisien, tapi belum tentu adil.
Jadi, apakah wakil rakyat masih perlu?
Ya. Tapi bukan yang tuli, malas, dan tertutup. Yang kita butuhkan adalah wakil rakyat yang peka, adaptif, dan siap bersanding dengan teknologi, bukan bersembunyi darinya.