Artinya, ini bukan sekadar soal jumlah anak, tapi soal kepercayaan.
Masalah Lama Tidak Pernah Diurus Serius
Berikut daftar penyakit lama di sekolah sejenis yang masih dibiarkan hidup:
1. Metode Pengajaran Kuno
Banyak sekolah negeri masih pakai sistem hafalan, ceramah satu arah, dan ulangan harian. Di luar sana, sekolah lain mengajarkan coding, public speaking, dan kolaborasi tim. Dunia berubah, tapi kurikulumnya masih nostalgia.
2. Branding Nol Besar
Sekolah swasta berlomba-lomba tampil di media sosial. Sementara sekolah negeri? Banyak yang bahkan tak tahu akun Instagram sekolahnya masih aktif atau tidak. Kalau masyarakat tidak tahu sekolah itu ada, bagaimana bisa mendaftar?
3. Tidak Ada Nilai Tambah
Sekolah negeri cenderung menawarkan yang "wajib" saja. Datang, belajar, pulang. Sementara sekolah swasta menjual program bilingual, kelas karakter, ekstrakurikuler kreatif, bahkan kelas agama dengan pilihan. Sekolah negeri kalah bukan pada biaya, tapi pada gagasan.
4. Hubungan Lemah dengan Komunitas
Berapa banyak sekolah yang benar-benar mendatangi warga? Berdialog? Menanyakan alasan mengapa anak-anak tak lagi bersekolah di sana? Banyak yang masih berpikir "kalau butuh, pasti datang". Padahal dunia sudah berubah. Konsumen tidak datang ke toko yang tidak membuka diri.
5. Lingkungan Tidak Nyaman
Beberapa sekolah negeri tampak seperti bangunan yang lelah: cat kusam, WC rusak, taman gersang. Sementara anak-anak zaman sekarang tumbuh dalam dunia yang visual dan interaktif. Jika sekolah tampak seperti kantor lama, ekspektasinya pun ikut redup.
6. Guru dan Orang Tua Tidak Terhubung
Di banyak sekolah negeri, relasi antara guru dan wali murid masih formal dan dingin. Tidak ada sistem komunikasi yang memadai. Tidak ada keterbukaan perkembangan anak. Padahal, orang tua sekarang ingin tahu setiap langkah pendidikan anaknya.
Ini Bukan Sekadar Bangku Kosong
SDN 134410 kini hanya punya 31 siswa aktif dengan delapan guru. Jika tidak ada perubahan, bangunan itu bisa berubah jadi museum mini pendidikan negeri yang gagal bersaing.