Pernahkah kau merasa lelah, bukan karena pekerjaanmu terlalu berat,
tapi karena rumahmu tak lagi terasa seperti tempat pulang?
Pernahkah kau duduk di ruang keluarga yang rapi dan lengkap,
tapi hati terasa kosong, seperti ada yang hilang tapi tak bisa kau tunjukkan?
Mungkin karena terlalu lama kita membangun rumah tangga dengan dasar yang perlahan kita lupakan: kasih, pengampunan, dan Tuhan.
Kita bilang, "semua ini demi keluarga."
Tapi kalau boleh jujur, sudah berapa lama kita tak benar-benar hadir di tengah mereka?
Kita ada secara fisik, tapi hati kita tertinggal di laporan kerja.
Kita belikan fasilitas, tapi tak sempat bertanya,
"Apa kamu bahagia hari ini?"
Uang datang. Gaji masuk. Usaha jalan.
Tapi apakah Tuhan dan sesama masih punya bagian di situ?
Atau semuanya sudah kita habiskan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang tak pernah habis?
Setiap rezeki yang datang adalah titipan.
Dan setiap titipan, selalu ada yang harus disisihkan.
Untuk yang Memberi, dan untuk mereka yang tak punya cukup suara untuk meminta.
Tapi mari jujur.
Kita lebih dulu menyusun daftar cicilan dan tagihan,
daripada bertanya,
"Apa hari ini aku sudah memberi untuk yang tidak punya?"
"Apa hari ini aku sudah menyisihkan sesuatu untuk Tuhan?"
Tuhan sering kita undang di awal rumah tangga.
Waktu akad. Saat janji. Dalam doa pembuka.
Tapi entah sejak kapan, Ia hanya jadi nama dalam bingkai.
Simbol dalam obrolan. Tapi tidak lagi ikut memimpin keputusan.
Dan Mamon? Ia tak perlu kita sembah.
Cukup dengarkan saja terus-menerus:
"Kerja lebih keras."
"Cari yang lebih banyak."
"Tambah lagi. Kejar lagi."
Kita pikir kita mengejar kebutuhan.
Padahal kadang yang kita kejar adalah rasa takut akan kekurangan.
Dan rasa takut itulah yang membuat kita menyingkirkan kasih.
Menunda pengampunan.
Membatalkan waktu bersama.
Mempersingkat pelukan.
Menghapus doa.
Lalu kita mulai menakar cinta.
Kalau kamu berkontribusi, aku hargai.
Kalau kamu gagal, aku kecewa.
Padahal cinta bukan kontrak.
Dan rumah tangga bukan tempat akuntansi emosional.
Mungkin itulah mengapa banyak rumah hari ini terlihat bahagia dari luar,
tapi di dalamnya, ada orang-orang yang sunyi meski ramai,
kenyang tapi tidak puas,
tersenyum tapi sesak.
Karena kasih yang tak dipelihara akan layu.
Dan pengampunan yang tak diberikan akan menumpuk jadi luka.
Dan Tuhan yang terus disisihkan akan pergi... pelan-pelan, tanpa suara.
Ia tidak marah.
Tapi Ia tahu, rumah yang tak lagi memberi ruang bagi-Nya,
akan menjadi tempat di mana uang bisa membeli segalanya, kecuali makna.
Dan makna itulah yang membuat hidup jadi benar-benar hidup.
Jadi coba lihat sejenak ke dalam rumahmu.
Bukan bentuknya, tapi arah hatinya.
Siapa yang lebih sering menentukan keputusanmu?
Mamon, atau Tuhan?
Hitungan keuntungan, atau kerelaan memberi?
Efisiensi, atau kasih?
Dan dalam setiap rezeki yang kau terima,
masihkah ada bagian untuk Tuhan?
Atau semuanya sudah habis, lalu kita berkata,
"Nanti saja, kalau ada lebih."
Tapi Tuhan tak minta lebih. Ia hanya minta diingat.
Dan kasih tak minta dilayani. Ia hanya ingin dijaga.
Dan sesama tak selalu minta diberi. Mereka hanya ingin dirimu tak sepenuhnya hidup untuk dirimu sendiri.
Jika kau membaca ini dan merasa tertampar,
itu bukan karena tulisan ini keras.
Tapi karena hatimu sebenarnya masih lembut.
Masih ingin pulang. Masih ingin memulihkan. Masih ingin kembali.
Maka kembalilah.
Pada kasih.
Pada pengampunan.
Dan pada Tuhan, yang mungkin sudah lama menunggu di ruang paling sunyi dalam rumahmu.
Karena rumah yang sejati bukan yang dipenuhi barang,
tapi yang cukup luas untuk kasih, ampunan, dan Tuhan tinggal bersama.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI