Di tengah maraknya pemberitaan kasus kriminal di Indonesia, seringkali kita disuguhi pemandangan kontras: di satu sisi, wajah terduga pelanggar ditampilkan secara jelas tanpa sensor, lengkap dengan borgol dan seragam tahanan; di sisi lain, untuk kasus yang mungkin tidak kalah serius, wajah terduga justru diblur atau bahkan sama sekali tidak dimunculkan.
Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar tentang keadilan, kesetaraan di mata hukum, dan integritas penegakan hukum kita.
Apakah ini sekadar ketidakkonsistenan prosedural, ataukah ada faktor-faktor tersembunyi yang berperan dalam praktik "tebang pilih" ini?
Asas Praduga Tak Bersalah dan Realitas Lapangan
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah pilar fundamental dalam sistem hukum modern.
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan ia bersalah.
Di Indonesia, prinsip ini dijamin oleh konstitusi dan berbagai undang-undang. Tujuannya jelas: mencegah penghakiman publik sebelum waktunya, melindungi reputasi, dan memastikan proses hukum berjalan adil.
Namun, realitas di lapangan seringkali berkata lain. Pedoman internal kepolisian memang menyarankan agar wajah terduga pelanggar disamarkan atau tidak dipublikasikan secara eksplisit.
Tujuannya mulia, yakni menghormati hak privasi dan asas praduga tak bersalah.Â
Sayangnya, karena tidak adanya larangan mutlak yang mengikat, pedoman ini kerap diterjemahkan secara fleksibel, bahkan cenderung arbiter.