Di seberang meja wawancara, duduklah seseorang dengan wajah sedikit tegang, jas yang kebesaran, mungkin milik ayahnya, dan CV yang dicetak dengan tinta terakhir di warung fotokopi. Ia bukan aktor.
Tapi pagi itu, ia harus berakting seperti manusia paling percaya diri di dunia. Karena katanya, perusahaan suka yang "penuh semangat."
Ia menghadap seorang HRD, manusia juga, sebenarnya. Tapi begitu duduk di kursi pewawancara, entah kenapa beberapa di antara mereka mendadak berubah: menjadi ahli psikoanalisa, jaksa, kadang penentu takdir.
"Ceritakan tentang diri Anda."
Kalimat pembuka yang terdengar sederhana. Tapi untuk banyak kandidat, ini adalah penggalian arkeologi eksistensial. Jawaban mereka harus cukup dalam untuk menyentuh hati, tapi tidak terlalu dramatis agar tidak dianggap 'kurang stabil secara emosional.'
HRD yang duduk di seberang itu mencatat. Mengangguk. Kadang bertanya: "Kenapa Anda keluar dari tempat sebelumnya?"
Kalimat netral. Tapi bisa terdengar seperti tuduhan halus. Seolah-olah berpindah kerja itu dosa.
Lalu muncul pertanyaan favorit sepanjang masa: "Apa kelebihan dan kekurangan Anda?"
Pertanyaan yang membuat para kandidat belajar berdiplomasi tingkat tinggi. Katakan "perfeksionis", agar kekurangan tampak seperti kelebihan. Katakan "mudah bergaul", agar tampak menyenangkan, meski introver di dalam hati.
Dan sang HRD pun menganalisis. Menimbang-nimbang. Tentu saja, dengan sangat objektif, tanpa bias, tanpa intuisi personal, tanpa dipengaruhi mood pagi itu atau sisa stres meeting barusan.
Sementara itu, si kandidat duduk dengan telapak tangan berkeringat, menanti vonis tak tertulis.
Lucunya, kita semua tahu bahwa wawancara itu bukan pengadilan. Tapi atmosfernya sering terasa seperti persidangan.