Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menimbang 3 Cara Pembatalan UU KPK Hasil Revisi Versi Mahfud MD

26 September 2019   20:48 Diperbarui: 26 September 2019   20:55 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo mengundang puluhan tokoh ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Jokowi membahas sejumlah hal dengan para tokoh, salah satunya terkait aksi unjuk rasa mahasiswa menolak UU KPK hasil revisi | KOMPAS.com/ Ihsanuddin

Gelombang aksi unjuk rasa dua hari terakhir ternyata membuahkan hasil, di mana salah satu tuntutan peserta aksi adalah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan Undang-Undang KPK hasil revisi yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu oleh pemerintah dan DPR.

Ya, publik yang 'memihak' KPK harus membayar mahal harga agar tuntutannya dikabulkan, yaitu dengan darah, peluh dan air mata. Puluhan bahkan ratusan ribu orang tumpah ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah dan wakil rakyat.

Meskipun aksi unjuk rasa terkonsentrasi di kompleks parlemen di Senayan dan diramaikan juga aksi serupa di beberapa kota di tanah air, hal itu sudah cukup ampuh mengetuk hati sang pemimpin negara, Presiden Jokowi.

Terlepas bagaimana pemerintah dan DPR menilai UU KPK hasil revisi yang telah disahkan, yang jelas sebagian besar publik melayangkan penolakan serius. Warga, mahasiswa hingga pelajar rela meluangkan waktu dan mengucurkan keringat di lokasi aksi.

Apa hasil dari unjuk rasa itu? Ternyata hari ini, Kamis, 26 September 2019, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengundang sejumlah tokoh di istana membahas persoalan terakhir yang melanda negeri. Satu di antaranya mengenai langkah bijak yang bakal diambil agar UU KPK hasil revisi batal diterapkan.

Presiden Jokowi seakan mulai melunak, setelah mempelajari keadaan serta mendengar masukan dari para tokoh undangan, beliau membuka ruang pada pilihan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa Perppu. Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," ujar Presiden Jokowi.

Mendapat kabar Presiden Jokowi mengundang sejumlah tokoh membahas UU KPK hasil revisi, Wakil Ketua KPK Saut Sitomorang menyampaikan apresiasi. Saut menilai Presiden Jokowi akhirnya mendengarkan suara publik yang tidak ingin terjadi pelemahan lembaga antirasuah.

"Let me tell you frankly, kalau tadi yang saya lihat seperti apa kata Prof Mahfud di TV, untuk sementara saya mengatakan benar kata orang banyak bahwa Jokowi Presiden Indonesia paling keren sepanjang sejarah NKRI. Karena pendengar yang baik tidak banyak di negeri ini, untuk kemudian yang didengar dijadikan kebijakan karena keyakinan akan sebuah nilai itu tidak mudah," ungkap Saut.

Lalu apa kira-kira opsi yang akan diambil Presiden Jokowi supaya UU KPK hasil revisi tidak terus-menerus menimbulkan polemik? Bagaimana dengan plus-minus di baliknya?

Salah seorang tokoh peserta undangan yang hadir di istana yaitu Mahfud MD menjelaskan bahwa ada tiga opsi yang bisa dipilih oleh Presiden Jokowi, antara lain menerbitkan Perppu, mempersilahkan pihak tertentu yang ingin mengajukan judicial review, atau mengadakan legislative review.

Pertama, menerbitkan Perppu berarti Presiden Jokowi otomatis menggunakan kewenangannya sebagai kepala pemerintahan mencabut UU KPK hasil revisi yang kian disahkan. 

Menurut Mahfud, Presiden Jokowi memiliki kewenangan penuh menerbitkan Perppu di kala kondisi bangsa tengah genting dan memaksa. Dengan demikian landasannya kuat, karena memang situasi perpolitikan nasional lagi memanas.

Akan tetapi dijelaskan Mahfud bahwa penerbitan Perppu bisa ditolak balik oleh DPR. Logis, bagaimana mungkin UU yang baru saja disahkan langsung dicabut dalam waktu cepat.

Kedua, judicial review, yang artinya Mahkamah Konstitusi (MK) diminta membatalkan UU yang belum lama disahkan. Namun Mahfud mengingatkan bahwa MK kemungkinan besar akan menolak judicial review karena UU disusun melalui prosedur yang benar dan sesuai konstitusi.

Ketiga, opsi yang direkomendasikan Mahfud untuk diambil yakni legislative review. Bagi Mahfud, legislative review merupakan jalan yang paling lembut dan prosedural untuk menyelesaikan polemik revisi UU KPK. Pemerintah dan DPR dapat kembali membahas perubahan UU KPK itu lewat program legislasi nasional di masa sidang berikutnya.

"Kalau saya sih menyarankan legislative review saja. Nunggu DPR ini, ya sudah disahkan sudah sesuai prosedur, disahkan. Nanti begitu pemerintah membuat prolegnas baru bersama DPR, masukkan (legislative review), tolong kita bahas lagi," kata Mahfud.

Mahfud menambahkan, jika opsi legislative review yang diambil, maka UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan bakal tetap berlaku sembari menunggu rampungnya legislative review tersebut, yang bisa saja membutuhkan waktu panjang.

Semua opsi di atas ada plus-minus. Dan saat ditanya opsi mana yang paling kuat disuarakan oleh para tokoh yang hadir, Mahfud mengatakan yaitu penerbitan Perppu.

Opsi terbaik manakah yang akan diambil oleh Presiden Jokowi? Jawabannya, semua tergantung penilaian dan pertimbangan Presiden Jokowi sendiri. Beliau lebih tahu apa yang paling baik bagi warga dan negeri ini.

***

[1] [2] [3] [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun