Saya yakin bukan cuma saya yang mengeluhkan kenaikan harga tiket pesawat yang sudah berlaku beberapa bulan belakangan, tepatnya mulai awal tahun ini. Agak mengagetkan karena kenaikannya sampai berkali-kali lipat dari biasanya. Misalnya dari harga 500 ribu rupiah menjadi 1 juta rupiah, bahkan lebih.
Seandainya saja kebijakan menaikkan harga dilakukan mendekati musim liburan mungkin bisa dianggap wajar, dan itu pun tetap harus mempertimbangkan banyak hal, tidak boleh seenaknya, yang penting meraup keuntungan sebesar-besarnya. Namun faktanya malah dilakukan jauh sebelum liburan, sekitar enam bulan.
Kalau ditanya kepada pihak maskapai tentang hal ini, mereka tentu beralasan bahwa kenaikannya masih sesuai aturan dan tidak melanggar tarif batas bawah dan tarif batas atas (TBA) yang disyaratkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pembuat regulasi. Bisnis ya bisnis, urusan nasib rakyat adalah wewenangnya pemerintah. Kira-kira itulah prinsip yang dipegang oleh pihak maskapai.
Belum lagi bahwa salah satu alasan maskapi bertahan menerapkan harga yang tergolong tinggi tersebut yakni selama ini mereka mengaku mengalami guncangan keuangan. Pertanyaannya, bukankah jumlah maskapai di Indonesia terbilang sedikit, di mana persaingan harga sangat tidak mungkin ada?
Sampai sekarang saya masih mencari-cari alasan logis dan jelas atas kenaikan harga tiket pesawat kali ini. Bagi saya alasan yang diungkap pihak maskapai sulit diterima. Kalau pun memang karena faktor keuangan, bukankah salah satu maskapai terbesar di Indonesia dimiliki BUMN dan selama ini mengaku keuangan mereka baik-baik saja?
Sekali lagi sulit diterima, dan pihak yang wajib menjelaskannya adalah pemerintah sendiri, dalam hal ini Kemenhub, mengapa revisi TBA justru mencekik leher para pengguna jasa penerbangan. Kiranya penilaian dari Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah berikut mendukung anggapan saya.
"Kalau menurut saya harus dijelaskan dulu dan disampaikan kepada publik apa yang jadi masalah naiknya begitu kencang. Kalau main patokan batas atas bawah saja itu enggak memberi solusi," ucap Piter (Senin, 6/5/2019).
Meski demikian, sesungguhnya sinyal baik untuk menyesuaikan kembali harga tiket dibuka oleh pihak maskapai. Contohnya PT Garuda Indonesia. Vice President Corporate Secretary maskapai milik negara tersebut, M. Ikhsan Rosan memastikan jika ada penyesuaian TBA baru, mereka pasti akan mematuhinya.
"Kalau misalnya Kemenhub menyesuaikan tarif batas atas diturunkan, kami sebagai operator harus mengikuti peratauran yang diberikan regulator," ucap Ikhsan (Senin, 6/5/2019).
Artinya yang punya kewenangan di sini adalah Kemenhub sebagai regulator. Kemenhub diberi keleluasaan untuk mengatur mana langkah terbaik. Tidak secara spontan memang Kemenhub mengeluarkan kebijakan baru karena perlu berkoordinasi ke atasan langsung Garuda, tapi kan aksi itu bisa dilakukan dengan mudah, yaitu berdiskusi dengan Menteri BUMN, Rini Soemarno.
Berdasarkan informasi yang beredar, ternyata menanggapi kisruh terkait harga tiket pesawat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution sudah memanggil para menteri yang dirasa berkepentingan, antara lain Menteri Perhubungan (Budi Karya Sumadi) dan Menteri BUMN (Rini Soemarno). Hasilnya adalah Budi Karya Sumadi diminta untuk mengevaluasi kembali kebijakan TBA.
"Hasil rapatnya, akan dievaluasi tarif batas atasnya. Saya diberi waktu seminggu untuk menetapkan batas atas baru, untuk penerbangan kelas ekonomi," kata Budi Karya Sumadi (Senin, 6/5/2019).
Tiga hari sebelum rapat bersama tadi, Budi Karya Sumadi juga telah mengajukan permintaan kepada Rini Soemarno agar berkenan memberi harga khusus dari Garuda sepanjang mudik Lebaran, walaupun sesudahnya ditanggapi penolakan dengan alasan tidak mau intervensi.
"Saya mengimbau kepada Ibu Menteri BUMN untuk meminta Garuda memberi harga khusus selama Lebaran. Kalau (harga tiket pesawat) Garuda turun, diikuti maskapai lain," ujar Budi Karya Sumadi (Jumat, 3/5/2019).
Baiklah, saya dan publik berharap arahan dari Darmin Nasution segera membuahkan hasil. Namun apa pun hasilnya nanti, menurut saya sudah terlambat. Seharusnya koordinasinya sudah dilakukan jauh sebelumnya, bukan saat liburan mepet. Sebagian calon penumpang tentu sudah terlanjur memesan dan membayar tiket, lalu apakah dengan perubahan harga cukup adil buat mereka?
Di samping itu, akan muncul alasan susulan lagi dari pihak maskapai bahwa momen Lebaran sangat dekat, akan sulit membuat perubahan harga baru. Dan seperti yang dipahami, justru di saat liburan panjanglah kenaikan harga tiket pesawat kerap ditolerir.
Sangat disayangkan, kebijakan TBA sepertinya tanpa pertimbangan dan perhitungan matang. Efek buruknya tidak dikaji rasional. Kebijakannya muncul tiba-tiba dan drastis. Semoga publik paham, sabar dan menerima.
Kenaikan Harga Tiket Pesawat Bukan Hanya Persoalan Libur Lebaran
Wajib dipahami bahwa penentuan kebijakan TBA tidak dirancang cuma untuk urusan angkut-mengangkut orang dan memperlancar aktivitas libur Lebaran atau liburan sejenisnya. Efek dari TBA ikut menyasar kepentingan lain, di samping urusan individu, yaitu bisnis.
Beralasan demi keberlangsungan bisnis maskapai semata amat mengesampingkan kehidupan bisnis di sektor lainnya. Umpamanya bisnis pariwisata. Bukankah dengan naiknya harga tiket pesawat menurunkan frekuensi dan jumlah wisatawan domestik? Bukankah pula akhirnya bisnis perhotelan ikut redup? Bagaimana pula dengan nasib para pekerja di sektor tersebut?
Buat apa dilakukan pembangunan belasan bandara jika ujung-ujungnya tidak berfungsi maksimal?
Semoga segera ada solusi dan sifatnya untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Tidak sementara. Amin!
***