Dalam UU ini, masa jabatan anggota DPR secara jelas diatur dalam Pasal 239 ayat (1) yang menyatakan:
"Anggota DPR memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji."
Dengan demikian, satu-satunya mekanisme "pembubaran" DPR adalah berakhirnya masa jabatan secara periodik setiap lima tahun melalui pemilu legislatif. Tidak terdapat pasal dalam UU MD3 yang memberikan ruang bagi eksekutif, yudikatif, maupun rakyat untuk membubarkan DPR sebelum habis masa jabatannya.
Namun, UU MD3 mengatur mekanisme pemberhentian anggota DPR secara individu. Berdasarkan Pasal 239 ayat (2), seorang anggota DPR dapat diberhentikan antarwaktu apabila:
-
Meninggal dunia;
Mengundurkan diri;
Diberhentikan oleh partai politiknya;
Terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih;
Melanggar sumpah/janji dan kode etik.
Artinya, meskipun DPR tidak bisa dibubarkan sebagai lembaga, secara individu para anggotanya dapat diberhentikan melalui mekanisme hukum dan etik.
Keresahan Publik: Dari Ucapan Arogan ke Tragedi Kemanusiaan
Ketidakpuasan masyarakat terhadap DPR tidak muncul tanpa alasan. Salah satu faktor pemicunya adalah pernyataan arogan seorang oknum DPR yang menyebut rakyat "tolol" dalam forum publik. Ucapan ini menimbulkan gelombang kritik karena mencerminkan sikap anti-representatif dan merendahkan kedaulatan rakyat yang seharusnya mereka wakili.