Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tat Yu

9 Oktober 2025   17:52 Diperbarui: 10 Oktober 2025   05:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yusuf yang sudah beruban dan lemah itu terduduk lunglai di depan televisi. Ia menyaksikan kota-kota di Indonesia, termasuk Jakarta dan Surakarta, membara. Toko-toko, pusat perbelanjaan, dan showroom milik etnis Tionghoa dijarah dan dibakar. Kabar paling mengerikan adalah perkosaan massal terhadap perempuan-perempuan Tionghoa. Jiwa tua Yusuf yang sudah penuh luka, kembali tercabik-cabik. Ia memandangi foto dirinya yang masih kecil, Yuyuh, yang dulu dengan polos dan berani membawa pesan untuk para pejuang. Air matanya yang selama puluhan tahun ia tahan, akhirnya tumpah. "Apakah untuk inilah dulu aku menyelundupkan peluru? Apakah untuk ini ayahku mengubur namanya?" gumanya lirih, suaranya parau oleh kepedihan. Rasa takut yang paling purba menyelimutinya; ia merasa seperti orang asing yang terkutuk di tanah yang ia panggil rumah seumur hidupnya.

Orde Reformasi membawa secercah harapan. SBKRI dicabut, Tahun Baru Imlek diakui sebagai hari libur nasional. Tapi bagi Yusuf, luka itu terlalu dalam untuk sembuh. Di usia senjanya, ia masih mendengar bisikan-bisikan rasis dan kecemburuan ekonomi yang tak pernah padam. Tidak semua Tionghoa kaya, tetapi stigma itu tetap melekat, menjadi penjara baru yang tak kasat mata.

Suatu senja di Bandung, Yusuf yang renta duduk di teras rumahnya. Matanya menatap jauh ke kaki langit, seolah mencari jawaban dari angin yang berhembus.

"Aku, Yuyuh, yang menjadi Yusuf," gumamnya pilu, suaranya hampir tak terdengar. "Aku telah memberikan masa kecilku, mengganti namaku, dan membangun negeri ini dengan tanganku sendiri. Tapi, di mata bangsaku sendiri, aku selamanya akan menjadi orang asing. Aku adalah seorang Indonesia yang tidak pernah diakui, yang dikubur hidup-hidip dalam lubang pengorbanannya sendiri."

"Apakah artinya semua pengabdian ini?" gumamnya lirih kepada angin. "Aku membela negeri ini sejak aku bisa berlari, tetapi negeri ini hanya memberiku luka dan penolakan sepanjang hidupku."

Dia adalah Yusuf, yang dahulu adalah Yuyuh. Seorang anak yang berjuang untuk Indonesia, seorang pria yang terusir dari identitasnya, dan seorang manusia yang menjadi saksi bisu dari satu bab paling kelam dalam sejarah bangsa: sebuah narasi panjang diskriminasi, kekerasan, dan pengkhianatan terhadap etnis Tionghoa, dari Orde Lama hingga kini, di tanah yang ia panggil rumah. Sebuah lagu sedih untuk sebuah Indonesia yang tak pernah benar-benar memeluknya.

Dia adalah seorang Indonesia, yang dibesarkan dalam cerita-cerita kepahlawanan Republik, tetapi hidupnya justru menjadi saksi bisu dari salah satu episode kelam dan berdarah dalam sejarah bangsa ini, riwayat perjalanan tentang pengkhianatan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap etnisnya sendiri. Dalam diam, ia menyimpan semua luka itu, seorang saksi yang terluka, korban dari sebuah bangsa yang masih berjuang untuk menemukan jati dirinya yang inklusif. Pengabdian masa kecilnya tenggelam dalam lahir pahit sejarah yang berulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun