Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tat Yu

9 Oktober 2025   17:52 Diperbarui: 9 Oktober 2025   17:52 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Pribadi

Cerita ini terinspirasi dari berbagai pengalaman diskriminasi terhadap etnis minoritas tionghoa.

Kabut pagi masih menyelimuti perbukitan ketika seorang bayi laki-laki meneriakkan tangis pertamanya ke dunia. Tahun itu 1942, dan Nusantara mengerang di bawah kekangan Jepang. Di sebuah rumah panggung sederhana di pinggiran kota, keluarga Zhong memberi nama anak mereka Zhong Tat Yu. "Yu," yang berarti persahabatan diharapkan dapat memberinya kesetiaan tanpa batas kepamrihan. Dengan penuh kasih, mereka memanggilnya "Yuyuh", panggilan sayang yang kelak akan menjadi simbol dari sebuah identitas yang harus dikubur.

Masa kecil Yuyuh diwarnai oleh dentuman meriam dan teriakan tentara. Saat ia belajar berjalan, Jepang menyerah. Saat ia mulai memahami kata "merdeka", Belanda sudah ingin kembali. Suara tembakan selama Agresi Militer Belanda (1947-1949) menjadi pengiring tidurnya yang gelisah. Sebagai anak laki-laki berusia 7-8 tahun, jiwa Yuyuh telah tersulut semangat revolusi. Dengan kelincahan khas anak kecil, ia menjadi runner bagi para gerilyawan Republik. Ia menyelundupkan sebungkus nasi, sekaleng obat, atau secarik kertas berisi pesan rahasia yang digulung rapat dalam batang bambu mainannya, untuk para pejuang yang bersembunyi di perbukitan Bandung Selatan. Ia melihat rumah tetangganya dibakar "Londo", mendengar cerita heroik para pemuda republik, dan percaya, dengan segenap hati polosnya, bahwa ini adalah tanah airnya, dan ini adalah perjuangannya. Darah yang ditumpahkan para pejuang pribumi ia anggap sebagai darah saudara.

Namun, impian indah Yuyuh tentang Indonesia yang memeluk semua anak bangsanya mulai retak. Orde Lama di bawah Soekarno membawa angin pengasingan. Pada tahun 1959, pukulan pertama yang menghancurkan datang: Peraturan Pemerintah Nomor 10 (PP 10/1959). Keluarga Zhong, yang bertahan hidup dengan toko kain kecil, dipaksa tutup karena lokasinya dianggap melanggar aturan. Yuyuh, yang kini remaja, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri toko keluarganya diobrak-abrik dan dijarah oleh massa. Rasanya pedih; pengabdian masa kecilnya sebagai kurir republik seolah tak ada artinya. Ia yang dulu membela negeri ini dengan nyawa, kini dianggap sebagai "masalah".

Tekanan semakin menjadi. Dalam upaya asimilasi yang pahit dan didorong oleh kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi, ayahnya, dengan air mata kepedihan, memutuskan untuk mengganti nama keluarga mereka. Zhong Tat Yu pun secara resmi berubah menjadi Yusuf. Nama Tionghoa-nya yang penuh makna, Yuyuh, terkubur---tertimbun oleh paksaan zaman, digantikan oleh panggilan "Yusuf" yang terasa kaku dan asing di telinganya. Itu adalah pengorbanan identitas pertama, sebuah kematian simbolis dari diri yang dulu.

Kebencian terhadap etnis Tionghoa juga merayap dalam gejolak DI/TII di Jawa Barat. Yusuf dan keluarganya, dengan wajah dan tradisi yang berbeda, sering menjadi sasaran kecurigaan dan ancaman. Mereka hidup dalam ketakutan ganda, terjepit di antara berbagai kekuatan.

Lalu, datanglah malapetaka 1965. Pasca Peristiwa G30S, gelombang kecurigaan berubah menjadi amuk massa yang mengerikan. Siapapun yang dianggap "asing" atau terlibat PKI menjadi target. Yusuf, yang sudah mengganti namanya, masih tidak bisa menyembunyikan garis keturunan Tionghoa-nya. Ia menyaksikan dengan ngeri bagaimana rumah dan usaha milik warga Tionghoa dijarah, dan beberapa kenalannya diculik lalu hilang begitu saja. Ia membakar buku-buku dan surat beraksara Mandarin warisan kakeknya, hidup dalam teror yang konstan. Pengkhianatan terasa sempurna; bangsa yang ia bela justru memburu dirinya.

Orde Baru di bawah Soeharto membawa "stabilitas", tetapi bagi Yusuf, itu adalah penjara yang rapi dan sistematis. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) menjadi alat represi baru yang menghinakan. Ia, Yusuf, yang lahir di bumi nusantara dan telah mengabdi sejak kecil, harus terus-menerus membuktikan kewarganegaraannya sendiri seperti seorang pengemis. Pemerintah mempersempit ruang gerak etnis Tionghoa hanya ke bidang ekonomi. Maka, Yusuf pun berjuang di sana. Dengan kerja keras dan keuletan, ia membangun usaha konveksi kecil-kecilan dari nol. Usahanya bertumbuh, tetapi kesuksesan itu menjadi kutukan. Ia dicap sebagai "Cina pelit", "kapitalis perampok", dan sumber ketimpangan. Kecemburuan sosial melekat padanya, sebuah ironi pahit karena ia hanya menjalani satu-satunya jalan yang diizinkan untuk bertahan hidup.

Awal tahun 1970-an, kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka memicu kerusuhan Malari 1974. Lagi-lagi, toko dan usaha milik etnis Tionghoa di Jakarta dan Bandung menjadi sasaran amuk massa. Yusuf kembali menyaksikan sebagian dari usahanya yang dibangun dengan peluh dan air mata, hangus dilalap api dan amarah. Hatinya hancur berkeping-kali; pengkhianatan itu terasa semakin dalam dan tak terelakkan.

Tahun-tahun berlalu dalam "politik massa mengambang" Orde Baru yang mencekik. Etnis Tionghoa hidup dalam keheningan yang dipaksakan, selalu waspada. Kemudian, puncak horor itu tiba: Kerusuhan Mei 1998.

Yusuf yang sudah beruban dan lemah itu terduduk lunglai di depan televisi. Ia menyaksikan kota-kota di Indonesia, termasuk Jakarta dan Surakarta, membara. Toko-toko, pusat perbelanjaan, dan showroom milik etnis Tionghoa dijarah dan dibakar. Kabar paling mengerikan adalah perkosaan massal terhadap perempuan-perempuan Tionghoa. Jiwa tua Yusuf yang sudah penuh luka, kembali tercabik-cabik. Ia memandangi foto dirinya yang masih kecil, Yuyuh, yang dulu dengan polos dan berani membawa pesan untuk para pejuang. Air matanya yang selama puluhan tahun ia tahan, akhirnya tumpah. "Apakah untuk inilah dulu aku menyelundupkan peluru? Apakah untuk ini ayahku mengubur namanya?" gumanya lirih, suaranya parau oleh kepedihan. Rasa takut yang paling purba menyelimutinya; ia merasa seperti orang asing yang terkutuk di tanah yang ia panggil rumah seumur hidupnya.

Orde Reformasi membawa secercah harapan. SBKRI dicabut, Tahun Baru Imlek diakui sebagai hari libur nasional. Tapi bagi Yusuf, luka itu terlalu dalam untuk sembuh. Di usia senjanya, ia masih mendengar bisikan-bisikan rasis dan kecemburuan ekonomi yang tak pernah padam. Tidak semua Tionghoa kaya, tetapi stigma itu tetap melekat, menjadi penjara baru yang tak kasat mata.

Suatu senja di Bandung, Yusuf yang renta duduk di teras rumahnya. Matanya menatap jauh ke kaki langit, seolah mencari jawaban dari angin yang berhembus.

"Aku, Yuyuh, yang menjadi Yusuf," gumamnya pilu, suaranya hampir tak terdengar. "Aku telah memberikan masa kecilku, mengganti namaku, dan membangun negeri ini dengan tanganku sendiri. Tapi, di mata bangsaku sendiri, aku selamanya akan menjadi orang asing. Aku adalah seorang Indonesia yang tidak pernah diakui, yang dikubur hidup-hidip dalam lubang pengorbanannya sendiri."

"Apakah artinya semua pengabdian ini?" gumamnya lirih kepada angin. "Aku membela negeri ini sejak aku bisa berlari, tetapi negeri ini hanya memberiku luka dan penolakan sepanjang hidupku."

Dia adalah Yusuf, yang dahulu adalah Yuyuh. Seorang anak yang berjuang untuk Indonesia, seorang pria yang terusir dari identitasnya, dan seorang manusia yang menjadi saksi bisu dari satu bab paling kelam dalam sejarah bangsa: sebuah narasi panjang diskriminasi, kekerasan, dan pengkhianatan terhadap etnis Tionghoa, dari Orde Lama hingga kini, di tanah yang ia panggil rumah. Sebuah lagu sedih untuk sebuah Indonesia yang tak pernah benar-benar memeluknya.

Dia adalah seorang Indonesia, yang dibesarkan dalam cerita-cerita kepahlawanan Republik, tetapi hidupnya justru menjadi saksi bisu dari salah satu bab paling kelam dan berdarah dalam sejarah bangsa ini - sebuah bab tentang pengkhianatan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap etnisnya sendiri. Dalam diam, ia menyimpan semua luka itu, seorang saksi yang terluka, korban dari sebuah bangsa yang masih berjuang untuk menemukan jati dirinya yang inklusif. Pengabdian masa kecilnya tenggelam dalam lahir pahit sejarah yang berulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun