Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Last Call from Busan

14 Juli 2021   14:15 Diperbarui: 17 Juli 2021   07:47 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit tak mengungkap nasib siapa pun, kecuali di bagian yang bercerita soal masa kini. (Alexander Pope)

"Aku ingin pergi ke bulan". Kalimat itu muncul saat kita pertama kali bertegur sapa. Seiring berjalannya waktu, lalu kita bercengkrama menenun untaian jaring-jaring pertemanan dan kemudian melangkah maju untuk menjahit kebersamaan dalam cinta dan kasih tuk menggapai sebuah ikatan tali suci. Semua begitu nyata, indah bagaikan tatanan irama dalam dentingan bait-bait nada tuts piano.  

"Aku ingin pergi ke bulan". Entah kenapa kalimat itu sering muncul dalam setiap obrolan kami, aku tidak pernah berusaha menyelidikinya, tidak pernah sedikitpun terbesit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada dalam benaknya walaupun kadang aku mengomentari kalimat itu dengan canda, ya dengan canda layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, canda yang renyah nan ringan yang tidak lebih hanya membuatnya mengulum senyum tanpa makna atau mungkin justru mengandung arti yang tak lebih dari "kamu tidak tau".

"Aku ingin pergi ke bulan". Kalimat yang selalu meluncur kesekian ratus kalinya dalam kesekian ratus kali obrolan kami dan kali ini mengiringi pamitnya meninggalkan Jakarta menuju Negeri Ginseng. "Papa membutuhkan ku sementara disana". Begitu dia genapi dengan berat alasannya.

"Aku ingin pergi ke bulan". Kalimat ini muncul lagi tiba-tiba, kalimat yang tidak ada dalam konteks obrolan kami manapun. Kali ini lebih sering apalagi kami telah terpisah dalam jarak yang jauh. Kalimat yang tidak lebih hanya aku anggap sebagai intermezo atau iklan lewat yang tidak pernah aku perhatikan. Sekilas aku anggap itu hanya keinginan yang mengada-ada dari mungkin refleksi masa kecil kala orang tua menanyakan ingin jadi apa kalau kamu sudah besar nanti? Kalimat yang tak lebih dari gambaran mimpi atau cita-cita masa kecil yang mungkin masih diingat atau kerinduan masa-masa tanpa beban berarti saat usianya baru menginjak hitungan jari.

"Akan aku antarkan kamu ke bulan". Suatu ketika kalimat itu muncul begitu saja dari mulutku, menimpali kalimat yang dia sampaikan beberapa detik sebelumnya. 

Dia terdiam, tidak biasanya raut nya datar atau setidaknya "sepertinya" raut nya datar atau mungkin wajahnya mengekspresikan sesuatu? Entahlah, tapi sepertinya raut datar menjadi gambaran yang muncul dalam bayang benak ku saat itu. 

Berbagai roman raut mukanya sering kali aku bayangkan, bahkan menjadi hal yang biasa tatkala obrolan-obrolan itu muncul dalam sambungan telepon atau sms yang selama ini kami lakukan setiap saat ketika rasa rindu itu muncul ke permukaan.

Kalimat itu menjadi satu-satunya kalimat yang membuatnya terdiam untuk beberapa saat, kalimat yang tidak dia tanggapi dengan kalimat lagi, tapi sepertinya dia tanggapi dengan kecamuk perasaan yang menjadikan tanyanya semakin membesar, bukan tanya "seberapa mampu kamu mengantarku?" Atau "mengapa dan bagaimana kita tiba kesana?" Tapi tanya "apakah kini kamu sudah mengerti tentang aku?"

Apakah bulan menandakan kesendirian dan kesepian dari batinnya yang galau?, ataukah hanya kecamuk hati akan perasaan kuatir yang muncul yang menandaskan kesetiaannya pada sang bumi? 

Atau mungkin karena sinarnya yang lembut yang menerangi kala gelap muncul saat perginya sang matahari?. Jutaan bait puisi bertebaran memuja memuji sang bulan, dari ribuan tahun lalu hingga kini, syair dan tembang melantun melambangkannya dengan misteri ilahi hingga mistisme para kaum, lalu arti apa yang bisa aku tafsirkan dengan ucapan yang tiap kali dilontarkannya di setiap saat disela kita melepas rindu?

"Aku akan ke bulan". Kini kalimat itu muncul berbeda. Kalimat itu muncul ditengah obrolan kita tentang rindu yang kini tak tertahan, tentang asa akan masa depan dan harapan yang pernah kita susun dan terpendam, di kala kesedihan dan tangis yang memuncak.

"Aku tak mau kehilanganmu, kembalilah secepatnya, apapun yang terjadi aku akan menerimamu apa adanya". Ingatkah kau dengan untaian kata yang meluncur dalam tangisku beberapa menit sebelum pisau operasi itu menyayat kulitmu? Untaian kata yang meluncur dalam jarak ribuan kilometer yang melintasi hembusan musim panas Busan dan hawa tropisnya kotaku?. Kini telepon terakhir dari Busan itu telah menjadi kenangan, kenangan akan rasa berbalas cinta dan kerinduan. 

Sel darah putih itu telah meniadakan nafasmu, menghentikan detak jantungmu, membawamu kepada keabadian yang kau capai sesaat setelah kau terbangun dari koma mu hanya demi menitipkan pesan cintamu padaku. Walau semangatmu tak pernah patah, keadaan memaksamu untuk menyerah.

Angin mengetuk pintu hati ini, kubuka tapi kemudian menghilang sirna, namun hangat desirannya tetap terasa, ingin rasanya mengecupmu, menciummu untuk terakhir kalinya, hingga kan ku tarik jiwa mu dalam hangat nya sentuhan bibir ini dan biarkan aku meneguk habis cinta itu.

Sepucuk surat dan pita nada kau berikan padaku, kudekap penuh rasa nan perih.. Aku tahu, bagaikan sebuah film, ini adalah scene terakhir tentang aku dan kamu, tentang akhir perjalanan kita, dan segalanya memang akhirnya seperti kamu, ada waktunya tumbuh dan layu, dan dari setiap kematian akan muncul kelahiran yang kembali menyemarakkan semesta.

Dari untaian kata dan alunan nada itu aku tetap tidak tahu kenapa kau tidak pernah mau membicarakannya, entah takut angan-angan itu hilang ataukah cerita itu akan meruntuhkan peng-andaian yang berdiri di atas fondasi yang rapuh karena pengkhianatan yang pernah kualami sebelum kamu? Sesalku tidak pernah memahaminya sejak dulu, andaikan rahasia kalimat itu aku tatap dalam-dalam, yakin ku, dia akan menuturkan cerita selaksa warna-warni cat diatas canvas putih atau semburat sinar matahari senja diantara arak-arakan gumpalan awan.

Tahun-tahun itu memang penuh drama yang sarat makna, tujuh belas tahun kini telah berlalu, kuburmu pun aku tak pernah tahu, aku telah menempuh banyak hal dalam satu jalan yang telah ter-lalui dan kini di depanku begitu banyak cabang jalan yang harus aku pilih.

Aku adalah manusia yang memang lebih mengingat cinta daripada pedih-pedihnya dan aku lebih mencintai lupanya daripada padahal-padahalnya. Bagaimanapun penggalan kisah itu telah menggerakkan pena kenanganku tuk mengguratkan namamu di langit-langit sanubariku.

Dan untuk semua yang pernah datang di hatiku, atau hanya sekedar pernah tersirat dan tak pernah terjadi, atau hanya sekedar sebuah asa harap dan diharap, atau hanya sekedar sebuah keinginan memperbaiki, kini bayang itu kembali menempati relung rindu dan hanya rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun