Mohon tunggu...
Harry Dethan
Harry Dethan Mohon Tunggu... Health Promoter

Master of Public Health | Praktisi Perilaku dan Promosi Kesehatan | Menulis dan membuat konten kesehatan, lingkungan, dan sastra | Email: harrydethan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Napas Serasa Tercekat ketika Menonton "The Conjuring: Last Rites"

7 September 2025   21:17 Diperbarui: 7 September 2025   21:17 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.theconjuringmovie.com

Menonton The Conjuring: Last Rites serasa duduk di kursi bioskop dengan napas tercekat, jantung seolah mau copot, dan jemari tanpa sadar menggenggam erat sandaran kursi. Film ini bukan sekadar parade jumpscare, tapi sebuah orkestrasi horor yang ditata dengan presisi. Mulai dari ketakutan yang muncul tepat pada waktunya, alur cerita yang mengalir mulus, dan tata suara yang menusuk syaraf seakan menggerakkan seluruh ruangan, semua dikemas secara mantap.

Sejak detik pertama, kita dibawa masuk ke dunia Ed dan Lorraine Warren, pasangan demonolog legendaris yang kali ini harus menghadapi kasus keluarga Smurl di Pennsylvania tahun 1986. Di balik rencana pensiun mereka, muncul teror yang lebih gelap dan intens dari apa pun yang pernah mereka hadapi. Sebuah cermin kuno terkutuk menjadi sumber malapetaka, memanggil entitas-entitas jahat yang mengobrak-abrik rumah dan iman keluarga Smurl. Di sinilah film benar-benar terasa menegangkan, bukan hanya karena hantu atau sosok bayangan, tetapi karena konflik emosional yang menelanjangi ketakutan terdalam manusia seperti kehilangan kendali, kehilangan keluarga, kehilangan keyakinan.

Hal yang membuat Last Rites istimewa adalah keberaniannya menutup saga panjang Ed dan Lorraine dengan nuansa yang lebih personal. Kita melihat mereka bukan hanya sebagai pengusir setan, tapi sebagai pasangan yang menua, rapuh, dan tetap berpegang teguh pada iman mereka. Kekuatan doa tidak hadir sebagai simbol kosong, melainkan sebagai perlawanan spiritual yang membumi dan relevan, seolah berkata kepada penonton untuk jangan lari dari ketakutan, hadapi dengan iman dan keberanian.

Tentu saja, James Wan dan tim produksi tahu bagaimana memberi hadiah nostalgia pada penonton setia. Boneka Annabelle kembali muncul, bukan sekadar gimmick, tetapi sebagai pengingat betapa luas dan terhubungnya semesta horor The Conjuring. Momen itu menambah lapisan atmosfer mencekam, sekaligus mengikat emosi para penonton yang sudah mengikuti waralaba ini sejak lama.

Dari sisi teknis, The Conjuring: Last Rites memperlihatkan produksi yang matang. Atmosfer rumah Smurl dibangun dengan detail melalui suara bisikan samar, pintu berderit, bayangan melintas, hingga benda yang bergerak tanpa sebab. Semua itu bukan sekadar dekorasi horor, tetapi bagian dari narasi yang mendorong kita semakin tenggelam dalam ketakutan. Di baliknya, ada drama keluarga yang kuat, terutama lewat Judy, putri Ed dan Lorraine, yang kini menunjukkan perkembangan kemampuan psikisnya. Kehadirannya memperluas fokus cerita, seakan memberi isyarat bahwa tongkat estafet horor ini tak benar-benar berakhir.

Uniknya, film ini juga menantang status kasus Smurl yang disebut lebih rumit daripada Amityville. Kompleksitas itu tidak hanya muncul lewat entitas yang kuat, tapi juga lewat dilema batin, bagaimana sebuah keluarga tetap bertahan ketika iman mereka terus diguncang? Bagaimana pasangan Warren menjaga diri ketika tubuh dan jiwa mereka sendiri kian rentan?

Sebagai penutup saga, The Conjuring: Last Rites bukan hanya horor yang membuat penonton menjerit. Ia adalah sebuah drama spiritual yang menyentuh, perjalanan emosional yang memperlihatkan bahwa di balik semua kegelapan, masih ada cahaya yang bisa bertahan. Ketegangan horor, nostalgia waralaba, dan kedalaman emosionalnya berpadu menjadi pengalaman menonton yang utuh, sebuah "last rite" yang layak, dan mungkin tak akan terlupakan.

Kalau boleh dirangkum, film ini mengajarkan satu hal sederhana tapi mendasar: "Ketakutan bukan untuk dihindari, tapi untuk dihadapi."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun