"Ah, itu..." Rafi seolah baru mendapatkan ingatannya kembali, teringat pada serangkaian kebetulan yang mempertemukan mereka.
"Kalau boleh tahu, apakah Anda juga mengantarkan keluarga Anda untuk menyaksikan mereka tampil di acara tadi?" tanya Fika, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Rafi mengangguk. "Betul. Saya mengantar keponakan saya. Kebetulan kedua orang tuanya sedang dinas ke luar negeri. Jadi saya diminta untuk mengantarnya."
"Lalu dia masih di acara itu, dong?" Fika merasa tidak enak. Ia membayangkan keponakan Rafi yang mungkin masih kecil, sekarang sedang mencarinya.
Rafi seolah membaca kekhawatiran di wajah Fika. Ia buru-buru menenangkan. "Saya sudah koordinasi dengan sopir keponakan saya agar membawanya pulang setelah acara selesai, tapi tampaknya dia menolak dan malah merayakan suksesnya acara tadi dengan teman-temannya."
Fika mengangguk, ada kelegaan di sana. Rafi menyadari, Fika jauh lebih tenang sekarang setelah kondisi Tisya lebih ada kepastian.
"Baiklah, kalau begitu, saya pamit dulu," kata Rafi.
"Oh ya, sebelumnya terima kasih sekali lagi, ya Rafi," jawab Fika.
Rafi masih terdiam di tempatnya. Rasanya ada yang kurang. Bagaimana kalau ia ingin bertemu lagi dengan Fika? Ia merogoh saku celananya, berusaha mencari sesuatu.
"Apa ada yang tertinggal?" tanya Fika melihat Rafi mencari-cari.
"Ah... ini dia, sebentar," Rafi mengeluarkan secarik kertas brosur acara tadi dan sebuah pulpen dari sakunya. Untung saja ia membawa pulpen. Ia membalik kertas itu dan mulai menuliskan sesuatu di sana.