Fika menerobos kerumunan, lututnya lemas melihat Tisya terbaring di lantai. "Tisya, Sayang, apa kamu masih sadar, Nak?" Fika mengelus lembut pipi Tisya.
Mata Tisya tampak setengah terbuka, pandangannya samar. Ia hanya mendengar suara Fika. "Mama?" Tisya bergumam lemah. "Kepala Tisya sakit, Ma..."
Seorang pria di sana berkata dengan cepat. "Saya sudah telepon ambulans. Kita harus bawa dia ke rumah sakit."
Fika tidak melepaskan wajahnya dari Tisya, ia terus berusaha menyemangati putrinya agar tetap sadar. "Mama di sini, Nak. Tisya yang kuat, ya. Sebentar lagi ambulansnya datang." Fika meracau, mengucapkan apa saja yang penting Tisya tetap merespons.
"Tisya sudah selesai tampil, Ma. Syukurlah. Mama benar, sebentar saja kok groginya, setelahnya Tisya juga menikmatinya." Tisya masih tersenyum ketika mengucapkan kata-kata itu.
Tak lama kemudian, mobil ambulans datang dan membawa Tisya bersama Fika di sisinya. Fika sangat cemas. Perjalanan itu terasa sangat lama, padahal hanya memakan waktu 15 menit. Baginya, itu sudah terasa seperti berjam-jam.
Ketika pintu mobil terbuka, petugas lainnya sudah stand by dan langsung membawa Tisya ke ruang tindakan. Seorang petugas menghadang Fika di pintu. "Ibu bisa tunggu di sini dulu. Selebihnya akan kami tangani ya, Bu."
Pintu ruang tindakan tertutup, membiarkan Fika menunggu sendiri. Tubuhnya bergetar. Tisya... Tisya... Ia hanya bisa berharap yang terbaik. Fika memandang pintu ruang tindakan dengan cemas, pertanyaan-pertanyaan terus berputar di kepalanya. Kenapa darahnya tidak juga kunjung berhenti? Apakah lukanya terlalu dalam?
Bersambung...