Mohon tunggu...
Tripviana Hagnese
Tripviana Hagnese Mohon Tunggu... Bisnis, Penulis, Baker

Saya seorang istri, ibu rumah tangga, yang juga mengelola bisnis, ada bakery, laundry, dan parfum.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Cerbung S1 E9] Nada yang Terlupakan

26 September 2025   12:51 Diperbarui: 25 September 2025   07:58 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Nada yang Terlupakan 

Gambar Milik Tripviana Hagnese: [Cerbung S1 E9] Nada yang Terlupakan 
Gambar Milik Tripviana Hagnese: [Cerbung S1 E9] Nada yang Terlupakan 

Episode 9: Ketika Takdir Menghentikan Napas

Keesokan harinya, Fika sudah mempersiapkan segalanya. Pesanan kue diantar lebih awal, dan ia bahkan meminta pelanggan untuk menunda pesanan yang seharusnya diantar saat jam acara Tisya. Hari itu, Fika hanya ingin fokus pada putrinya. Ia dan ibunya bergegas menuju lokasi acara. Mereka duduk di kursi penonton yang sudah disiapkan untuk keluarga, menantikan giliran Tisya.

Satu demi satu, para penampil di panggung membawakan pertunjukan mereka dengan gemilang. Hingga tiba giliran Tisya. Fika menatap putrinya di atas panggung, jantungnya berdebar. Penampilan Tisya sangat memukau. Suaranya merdu, gerakannya lincah, dan senyumnya memancarkan kepercayaan diri. Tepuk tangan penonton memenuhi ruangan hingga Tisya turun dari panggung.

Fika masih duduk di tempatnya, matanya terus mencari Tisya di balik panggung. Sebenarnya, ia ingin segera meninggalkan tempat itu dan memeluk putrinya, namun ia harus tetap tertib. Fika tidak tahu, bahwa di balik tirai panggung, kekacauan tengah terjadi.

Tiba-tiba, seseorang menyentuh pundak Fika. Itu Vito. Wajahnya cemas, pelipisnya dibanjiri keringat sebesar biji jagung. Napasnya terengah-engah, menandakan ia baru saja berlari.

"Bu Fika, tetap tenang dan ikut saya sekarang juga!" kata Vito, suaranya serak. Nada suaranya tidak tenang sama sekali, membuat Fika sontak panik. "Tisya jatuh."

Dua kata terakhir itu bagai pukulan telak di dada Fika. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. "Di mana Tisya? Bawa saya ke dia sekarang!" Fika menarik lengan Vito, memintanya menunjukkan jalan.

Fika berlari sekuat tenaga. Dadanya terasa sesak, napasnya tidak teratur. Tapi, pikirannya lebih sesak lagi. Tisya jatuh? Bagaimana bisa? Bagaimana kondisinya? Ya ampun, ya ampun! Baru saja ia merasa hidupnya kembali damai, kini takdir seolah kembali menertawakannya. Apa sempurna itu sebenarnya tidak ada?

Vito tergopoh mengikuti di belakang, terus memberikan petunjuk arah. Fika sampai di sebuah kerumunan orang, dan ia melihat tim medis sudah menangani Tisya. Tapi wajah mereka panik. Darah bercucuran dari dahi Tisya. Darahnya banyak, meski tim medis berusaha menutupnya dengan perban. Perban itu dibuka kembali dan diganti dengan yang baru, tapi seolah darah itu tidak mau berhenti mengalir.

Fika menerobos kerumunan, lututnya lemas melihat Tisya terbaring di lantai. "Tisya, Sayang, apa kamu masih sadar, Nak?" Fika mengelus lembut pipi Tisya.

Mata Tisya tampak setengah terbuka, pandangannya samar. Ia hanya mendengar suara Fika. "Mama?" Tisya bergumam lemah. "Kepala Tisya sakit, Ma..."

Seorang pria di sana berkata dengan cepat. "Saya sudah telepon ambulans. Kita harus bawa dia ke rumah sakit."

Fika tidak melepaskan wajahnya dari Tisya, ia terus berusaha menyemangati putrinya agar tetap sadar. "Mama di sini, Nak. Tisya yang kuat, ya. Sebentar lagi ambulansnya datang." Fika meracau, mengucapkan apa saja yang penting Tisya tetap merespons.

"Tisya sudah selesai tampil, Ma. Syukurlah. Mama benar, sebentar saja kok groginya, setelahnya Tisya juga menikmatinya." Tisya masih tersenyum ketika mengucapkan kata-kata itu.

Tak lama kemudian, mobil ambulans datang dan membawa Tisya bersama Fika di sisinya. Fika sangat cemas. Perjalanan itu terasa sangat lama, padahal hanya memakan waktu 15 menit. Baginya, itu sudah terasa seperti berjam-jam.

Ketika pintu mobil terbuka, petugas lainnya sudah stand by dan langsung membawa Tisya ke ruang tindakan. Seorang petugas menghadang Fika di pintu. "Ibu bisa tunggu di sini dulu. Selebihnya akan kami tangani ya, Bu."

Pintu ruang tindakan tertutup, membiarkan Fika menunggu sendiri. Tubuhnya bergetar. Tisya... Tisya... Ia hanya bisa berharap yang terbaik. Fika memandang pintu ruang tindakan dengan cemas, pertanyaan-pertanyaan terus berputar di kepalanya. Kenapa darahnya tidak juga kunjung berhenti? Apakah lukanya terlalu dalam?

Bersambung...

#tripvianahagnese

#season1

#nadayangterlupakan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun