Mohon tunggu...
Tripviana Hagnese
Tripviana Hagnese Mohon Tunggu... Bisnis, Penulis, Baker

Saya seorang istri, ibu rumah tangga, yang juga mengelola bisnis, ada bakery, laundry, dan parfum.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Cerbung S1 E7] Nada yang Terlupakan

26 September 2025   03:42 Diperbarui: 25 September 2025   07:46 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Nada yang Terlupakan 

Gambar Milik Tripviana Hagnese: [Cerbung S1 E7] Nada yang Terlupakan 
Gambar Milik Tripviana Hagnese: [Cerbung S1 E7] Nada yang Terlupakan 

Episode 7: Petir di Siang Bolong

Ruangan Dokter Gunawan hening, bahkan tidak terdengar detak jam dinding. Di tengah keheningan yang menyesakkan, hanya ada suara napas Fika yang terasa berat. Fika duduk di kursi, menggenggam erat ujung bajunya. Di hadapannya, Dokter Gunawan, seorang pria paruh baya dengan sorot mata bijaksana, menatap hasil tes darah Tisya. Matanya beralih dari kertas itu ke Tisya, lalu ke Fika, dan kembali lagi pada kertas hasil lab.

"Bagaimana, Dok?" tanya Fika, suaranya tercekat. Ia menahan napas, berharap cemas.

"Ibu, bisa tolong bawa Tisya keluar sebentar?" Dokter Gunawan tidak bertanya, ia lebih memberi perintah halus dan sopan pada ibu Fika.

Mendengar itu, firasat tidak enak Fika langsung muncul. Ini sama persis seperti adegan di sinetron-sinetron yang sering ia tonton, di mana dokter meminta pasien anak keluar saat akan menyampaikan berita buruk. Ibu Fika mengangguk, ia paham. Tanpa banyak bertanya, ia segera menggandeng Tisya keluar dari ruangan.

Di luar, Tisya duduk di kursi pasien, kakinya menggantung dan bergoyang pelan. Ia menatap neneknya yang tersenyum hangat. "Apa ada hal serius ya, Nek, hingga Tisya enggak boleh dengar hasilnya?"

Ibu Fika hanya meraih tangan cucunya itu dan menepuk pelan punggungnya. Ia mengelus kepala Tisya dengan sayang. Tisya membalas senyum neneknya, senyum yang begitu tulus. "Apapun itu, Tisya pasti kuat, iya kan, Nek?"

Neneknya mengangguk, dengan Bahasa isyarat, ia meyakinkan Tisya bahwa apapun yang akan terjadi, Tisya akan baik-baik saja.

Sementara di dalam ruangan, keheningan kembali menyelimuti. "Sebenarnya, seserius apa sakitnya Tisya, Dok?" Fika bertanya, suaranya bergetar. Ia merasa seperti ada beban berat yang menekan dadanya.

Dokter Gunawan menatap Fika dengan serius. "Bu Fika, saya akan terus terang. Ini baru prediksi awal, tapi ketidaknormalan pada sel darah putih yang terlalu banyak dan sel darah merah atau trombosit yang terlalu sedikit, ini bisa mengindikasikan adanya leukemia…"

"Apa?! Leukemia, Dok?!" Fika memotong, saking kagetnya. Matanya membelalak, tidak percaya. "Tapi, Tisya baru satu minggu ini saja sakit. Sebelumnya, dia baik-baik saja."

"Betul, hal itu bisa terjadi pada anak seusia Tisya, Bu," jawab Dokter Gunawan tenang. "Prediksi saya, gejala yang terjadi tiba-tiba secara cepat ini adalah jenis Leukemia Limfoblastik Akut…"

Penjelasan Dokter Gunawan bagaikan petir di siang bolong. Fika tidak lagi mengikuti. Pikirannya melayang, terus bertanya, Mengapa harus Tisya? Rasanya dunia ini tidak adil. Kehidupan seolah terus-menerus mempermainkannya. Ia merasa bersalah. Ini salahku, kenapa Tisya yang harus menanggung akibatnya?

"Bu Fika?!" Dokter Gunawan sedikit mengeraskan suaranya, menyadarkan Fika yang melamun.

"Ya, Dok," Fika kembali menatap Dokter Gunawan, matanya nanar.

"Ibu harus kuat dulu, baru bisa menguatkan Tisya. Saya lihat, Tisya juga anak yang tegar dan bersemangat. Kita akan beritahu dia, tapi kalau Bu Fika juga bisa diajak kerja sama, dan dapat menerima ini semua. Kita harus bertindak cepat sehingga tingkat kesembuhan menjadi lebih baik," jelas Dokter Gunawan. Ia tersenyum menenangkan, senyum yang sudah sering ia berikan kepada orang tua dengan pasien yang mengalami hal serupa. Ia tahu, respons pertama pasti penolakan, tetapi itu tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Pasien harus segera ditangani.

Fika mengangguk, matanya merah, tetapi ia sadar, ini bukan waktunya menangis. "Saya siap, Dok," ucapnya lirih.

"Kalau Bu Fika sudah lebih siap, kita akan panggil Tisya, saya akan menjelaskan secara transparan agar semua pihak bisa kooperatif dan support untuk proses pemeriksaan lebih lanjut dan penanganannya, Bu." Dokter Gunawan melihat Fika yang hanya menunduk tapi mengangguk.

Suster kemudian memangil Tisya dan ibu Fika. Dengan lembut dan sederhana, Dokter Gunawan menjelaskan pada Tisya. Tisya mendengarkan dengan seksama, sesekali matanya berkedip, tetapi ia tidak menunjukkan raut sedih. Ia justru tersenyum ketika ditanya Gunawan apakah ia mengerti.

"Mengerti, Dok," kata Tisya mantap. "Yang penting Tisya bisa sembuh."

"Nah, bagus Tisya. Semangat memang salah satu obat paling manjur, loh." Dokter Gunawan terlihat cepat akrab dengan anak-anak. Mungkin dengan gelar spesialis anak, ia memang sudah ahli menangani kasus kanker seperti ini.

Fika tersenyum miris. Tisya lebih berani menghadapi kehidupan. Ia jadi ingat, dulu saat ia kecil, ia juga berani bermimpi besar, seolah itu hal mudah untuk diraih, dilalui, dan dilewati. Sampai akhirnya, kehidupan seolah menertawakannya. Tidak, tidak. Kali ini aku tidak akan membiarkan kehidupan mengalahkanku. Fika berjanji dalam hati, ia akan berjuang bersama Tisya, apa pun yang terjadi.

Bersambung...

#tripvianahagnese

#season1

#nadayangterlupakan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun