Episode 7: Petir di Siang Bolong
Ruangan Dokter Gunawan hening, bahkan tidak terdengar detak jam dinding. Di tengah keheningan yang menyesakkan, hanya ada suara napas Fika yang terasa berat. Fika duduk di kursi, menggenggam erat ujung bajunya. Di hadapannya, Dokter Gunawan, seorang pria paruh baya dengan sorot mata bijaksana, menatap hasil tes darah Tisya. Matanya beralih dari kertas itu ke Tisya, lalu ke Fika, dan kembali lagi pada kertas hasil lab.
"Bagaimana, Dok?" tanya Fika, suaranya tercekat. Ia menahan napas, berharap cemas.
"Ibu, bisa tolong bawa Tisya keluar sebentar?" Dokter Gunawan tidak bertanya, ia lebih memberi perintah halus dan sopan pada ibu Fika.
Mendengar itu, firasat tidak enak Fika langsung muncul. Ini sama persis seperti adegan di sinetron-sinetron yang sering ia tonton, di mana dokter meminta pasien anak keluar saat akan menyampaikan berita buruk. Ibu Fika mengangguk, ia paham. Tanpa banyak bertanya, ia segera menggandeng Tisya keluar dari ruangan.
Di luar, Tisya duduk di kursi pasien, kakinya menggantung dan bergoyang pelan. Ia menatap neneknya yang tersenyum hangat. "Apa ada hal serius ya, Nek, hingga Tisya enggak boleh dengar hasilnya?"
Ibu Fika hanya meraih tangan cucunya itu dan menepuk pelan punggungnya. Ia mengelus kepala Tisya dengan sayang. Tisya membalas senyum neneknya, senyum yang begitu tulus. "Apapun itu, Tisya pasti kuat, iya kan, Nek?"
Neneknya mengangguk, dengan Bahasa isyarat, ia meyakinkan Tisya bahwa apapun yang akan terjadi, Tisya akan baik-baik saja.
Sementara di dalam ruangan, keheningan kembali menyelimuti. "Sebenarnya, seserius apa sakitnya Tisya, Dok?" Fika bertanya, suaranya bergetar. Ia merasa seperti ada beban berat yang menekan dadanya.