"Bibi, Senja baik-baik saja, kan? Dia agak aneh belakangan ini. Jarang telepon, suaranya lesu," tanya Awan, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
Terdengar Bibi Nina menghela napas berat dari seberang. "Awan... kamu yang sabar ya. Senja memang sedang menghadapi sesuatu yang berat di sana. Dia menemukan... rahasia besar."
Jantung Awan berdegup kencang. "Rahasia apa, Bi? Apa hubungannya sama Rama?"
Bibi Nina terdiam sejenak. Akhirnya, dengan suara pelan dan penuh kehati-hatian, ia menceritakan garis besar masa lalu Ibu Senja, tentang Rama yang adalah anak kandung Ibu Senja dari pria lain, dan bagaimana Ibu Senja harus menghadapi semua itu sendirian sebelum bertemu ayah Senja.
Awan mendengarkan dengan napas tertahan. Kafe yang tadinya ramai oleh suara mesin kopi dan tawa pelanggan, mendadak terasa senyap. Dunia Awan seolah ikut runtuh. Rama adalah kakak kandung Senja? Dan Senja baru tahu? Rasa terkejut, marah, dan iba bercampur aduk. Ia marah karena Senja harus menanggung beban ini sendirian, dan ia iba karena Senja harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini.
"Kenapa... kenapa Senja nggak cerita ke aku, Bi?" suara Awan tercekat.
"Dia pasti takut, Awan. Takut kamu melihatnya beda, takut kamu khawatir. Dia kan selalu berusaha tegar. Dia nggak mau membebani kamu," jawab Bibi Nina, suaranya lirih. "Dia mencintaimu, Awan. Dia memilih pergi jauh juga demi kamu, demi keluarganya."
Awan menutup telepon. Wajahnya pias. Selama ini ia merasa Senja menyembunyikan sesuatu, tapi ia tak pernah menyangka akan serumit ini. Ia berjalan gontai menuju bangku pojok kafe yang kosong. Ia membayangkan Senja duduk di sana, tertawa, berbagi cerita. Kini, ada jurang rahasia yang terbentang di antara mereka, selain jarak ribuan kilometer. Hatinya perih. Ia ingin terbang ke London saat itu juga, memeluk Senja, mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, perasaannya tidak akan berubah. Tapi ia tahu, ia tak bisa.
Setelah beberapa hari mengurung diri, Senja akhirnya memberanikan diri. Ia tahu ia tidak bisa terus menghindar. Ia harus menghadapi Rama, dan ia juga harus menghadapi dirinya sendiri. Ia tahu ini tidak adil bagi Awan yang selalu tulus.
Senja mengirim pesan pada Rama: Bisakah kita bertemu? Di kafe kemarin. Aku butuh penjelasan lebih. Dan aku butuh kau jujur, seutuhnya.
Rama membalas cepat: Tentu, Senja. Aku akan menunggumu di sana. Maafkan aku.