Episode 7: Jejak Masa Lalu yang Terkuak
Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode
Total 10 Episode
Malam itu, di studio apartemennya yang dingin di London, Senja tidak bisa tidur. Foto polaroid itu, yang ia temukan di arsip Rama, terus menghantuinya. Ia membolak-balik foto itu di tangannya, membandingkan wajah wanita di sana dengan foto ibunya di ponsel. Ada kemiripan yang begitu kuat, sebuah kemiripan yang membuat perutnya mual. Lalu, ada pria yang sangat mirip dengan Rama, tersenyum lebar di samping wanita yang mirip ibunya. Jika itu memang ibunya, dan pria itu mirip Rama, kenapa Rama memiliki foto seperti itu? Dan mengapa ibunya terlihat begitu akrab dengan laki-laki itu, seorang laki-laki yang bukan ayahnya?
Pikirannya berputar, mencoba menyusun potongan-potongan teka-teki yang aneh ini. Ia merasa seperti ada jaring laba-laba yang membungkus kebenaran, dan ia harus menarik satu per satu benangnya untuk mengungkapnya. Ia teringat percakapan telepon dengan Bibi Nina, kakak mendiang ibunya, beberapa bulan lalu. Bibi Nina pernah berkata, "Ibumu itu, Nduk, dulu secantik kamu. Banyak yang puja, banyak yang naksir." Apakah ini ada hubungannya?
Senja tahu ia harus bertindak. Dengan tangan gemetar, ia membuka laptopnya, mencari informasi. Kata kunci demi kata kunci ia ketik, mencari nama lengkap ayahnya, nama lengkap Rama, dan tahun 1998. Ia mencari arsip berita lama, apa pun yang bisa memberinya petunjuk. Hampir pukul tiga pagi saat matanya lelah, namun rasa penasaran dan takut justru semakin membuncah.
Keesokan harinya, di kantor, Senja tak bisa fokus. Setiap kali Rama mendekat, ia merasakan ketegangan yang luar biasa. Senja berusaha menjaga jarak, namun hatinya mendesak untuk mencari tahu. Kebetulan, Rama sedang sibuk dengan meeting penting, memberi Senja sedikit waktu untuk bergerak.
Ia memberanikan diri. Diam-diam, ia mencari kontak Rama di direktori perusahaan, kemudian menyalin nama lengkap Rama ke dalam ponselnya. Ia memutuskan untuk menghubungi seseorang yang mungkin tahu banyak tentang masa lalu keluarganya.
Senja menelepon Bibi Nina di kampung, berpura-pura menanyakan kabar biasa, lalu perlahan mengarah ke topik lama.
"Bibi, aku mau tanya deh... Dulu, Mama sebelum ketemu Papa, pernah dekat sama laki-laki lain nggak?" Senja bertanya hati-hati, suaranya berusaha senormal mungkin.
Terdengar Bibi Nina terdiam sejenak. Suara napasnya agak memburu dari seberang. "Ehm, kenapa tiba-tiba nanya gitu, Nduk? Itu kan sudah lama sekali. Dulu Ibumu memang pernah dekat sama seorang pengusaha, ya... dia sudah punya istri. Mereka nggak bisa bersama. Terus Ibumu pergi, menghilang sementara. Bibi juga nggak tahu kemana." Suara Bibi Nina terdengar ragu, seolah menyembunyikan sesuatu yang besar.
"Oh, gitu ya, Bi. Terus... Mama pernah punya anak dari laki-laki itu?" Senja langsung ke intinya, dadanya berdebar tak karuan. Ia tahu ia sudah menekan tombol yang salah.
Hening. Kali ini keheningan Bibi Nina jauh lebih lama dan terasa berat. Terdengar suara isakan kecil dari seberang telepon. "Astaga, Senja... dari mana kamu dengar cerita begitu? Itu kan... itu sudah lama sekali, Nduk. Biarlah itu jadi masa lalu. Ibumu sudah berkorban banyak untuk menutupi semua ini."
"Berarti benar, Bi?" Senja mendesak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Bibi tahu Rama Wijaya?"
Terdengar suara napas tercekik dari seberang telepon. "Rama... Rama Wijaya? Jadi dia... dia yang kamu maksud? Nduk, lupakan saja semua itu! Jangan cari tahu lagi! Itu masa lalu yang pahit. Ibumu... Ibumu sangat menderita karena itu." Bibi Nina tiba-tiba memutuskan sambungan.
Senja menutup telepon. Ia tidak perlu lagi bukti. Kebenaran itu kini terang benderang di hadapannya, menghantamnya seperti gelombang besar. Rama Wijaya... adalah kakak kandungnya seibu. Putra dari ibunya, dari hubungan terlarang dengan pria lain. Pria di foto itu... adalah ayah kandung Rama. Kepala Senja pusing, dunia seolah berputar. Ini jauh lebih rumit, lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Semua kerahasiaan, semua perhatian Rama, kini punya makna yang jauh lebih dalam, dan lebih menyakitkan.
Dengan keberanian yang entah datang dari mana, Senja menunggu Rama selesai meeting. Ia berdiri di depan pintu ruang kerja Rama, gemetar. Saat Rama keluar, wajahnya tersenyum, namun senyum itu langsung memudar melihat ekspresi Senja yang pucat pasi dan mata yang berkaca-kaca.
"Senja? Ada apa? Kamu sakit?" Rama bertanya, mendekat dengan raut khawatir. Ia melihat ketegangan di tubuh Senja.
Senja tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan foto polaroid itu dari sakunya, menunjukkannya pada Rama. Tangannya gemetar tak terkendali. "Siapa... siapa wanita ini, Rama? Dan pria ini... ini siapa?" Suaranya bergetar, penuh tuduhan, namun juga putus asa.
Rama menatap foto itu, matanya melebar. Wajahnya seketika berubah pucat, semua warna seolah terkuras dari wajahnya. Ia terdiam, kaku, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresinya menunjukkan rasa bersalah yang teramat dalam, seolah ia baru saja tertangkap basah dengan sebuah rahasia besar yang telah lama ia pendam. Ia menutup pintu ruangannya, mengajak Senja masuk, menutup rapat dunia luar dari mereka.
"Duduk, Senja," perintah Rama, suaranya berat, nyaris berbisik. Ia menarik napas dalam-dalam, menghela napas panjang, seolah mengumpulkan setiap sisa keberaniannya. Ia menatap Senja dengan tatapan yang penuh penyesalan, matanya berkaca-kaca.
"Aku... aku harus jujur padamu, Senja." Rama memulai, suaranya serak. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Senja yang menuntut jawaban. "Wanita di foto itu... dia ibuku. Ibu kandung kita." Rama mengangkat kepalanya, menatap Senja dengan mata merah. "Dan pria ini... dia adalah ayahku. Ayah kandungku."
Dunia Senja runtuh saat itu juga. Sebuah pukulan telak yang menghantam jiwanya hingga ke dasar. Rama adalah kakaknya, putra dari ibunya, dari hubungan terlarang. Air matanya tak terbendung, mengalir deras di pipinya.
Rama melanjutkan ceritanya, suaranya bergetar menahan tangis. "Ayah kandungku... dulu dia sudah punya istri. Tapi istrinya tidak bisa punya anak laki-laki. Jadi dia... dia menjalin hubungan dengan ibumu. Ibuku... dia menginginkan keluarga, dan dia percaya akan dinikahi. Dia hamil, melahirkanku." Rama terdiam, seolah kembali ke masa lalu yang menyakitkan. "Tapi kemudian istri pertama ayahku mengetahui semuanya. Ibuku diusir, dan aku... aku diasuh sebagai anaknya oleh ayahku dan istri sahnya. Ibuku... dia pergi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah itu, selama setahun penuh."
Rama mengangkat kepalanya, menatap Senja dengan mata merah dan penuh penyesalan. "Sekitar satu tahun kemudian, ibuku bertemu ayahmu, Senja. Ayahmu yang sedang sakit itu. Ayahmu... ayahmu menerimanya apa adanya. Mereka menikah. Lalu lahirlah kamu... dan Jingga." Rama menarik napas dalam. "Ibuku tidak pernah memberitahuku bahwa aku punya adik. Dia ingin melindungimu dari masa lalu yang kelam ini, dari aib keluarganya. Aku... aku baru tahu kamu ada saat aku mencari informasi tentang ibuku setelah dia meninggal. Aku melihat fotomu bersama ibuku, dan kemiripanmu denganku, juga dengan ibuku, membuatku penasaran. Aku mulai mencari tahu, sampai akhirnya aku tahu tentang dirimu. Aku tahu kamu ada, adikku."
"Aku mendekatimu, Senja, bukan karena... bukan karena perasaan romantis seperti dulu," kata Rama, suaranya penuh ketulusan yang putus asa. "Aku mendekatimu karena aku ingin menebus dosa. Menebus kesalahan ayahku yang telah menyakiti ibuku, dan ingin membantu adikku. Kamu. Ini cara aku menebus dosa. Aku ingin memastikan kamu dan keluargamu baik-baik saja. Aku ingin menjadi kakak yang baik bagimu, Senja. Aku bersumpah, ini tulus."
Ruangan terasa sesak oleh pengakuan itu. Senja merasakan pening yang luar biasa. Antara marah, bingung, dan mencoba memahami niat Rama. Hatinya tercabik-cabik. Ia memiliki kakak kandung seibu, dari ibunya. Ini semua terlalu banyak. Konflik batin yang luar biasa muncul, berputar-putar di kepalanya. Kakak kandung? Dia adalah Rama, kakak kelasnya yang kini menawarkan masa depan cemerlang, dan sekaligus... saudaranya. Kenyataan ini mengubah segalanya.
Identitas Rama yang sesungguhnya telah terkuak, menciptakan dilema baru bagi Senja. Bagaimana ia akan menerima kenyataan ini, yang menghancurkan sebagian dari identitasnya? Dan bagaimana hal ini akan memengaruhi hubungannya dengan Awan, yang jauh di Jakarta, tidak tahu apa-apa tentang badai yang baru saja menerpa Senja?
Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode
Total 10 Episode
#tripvianahagnese
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI