Mohon tunggu...
Tripviana Hagnese
Tripviana Hagnese Mohon Tunggu... Bisnis, Penulis, Baker

Saya seorang istri, ibu rumah tangga, yang juga mengelola bisnis, ada bakery, laundry, dan parfum.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Senja di Ujung Pelangi (Ep. 3/10)

12 Juni 2025   14:35 Diperbarui: 12 Juni 2025   13:37 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 3/10)

Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 3/10)
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 3/10)

Episode 3: Bayangan Masa Lalu dan Sebuah Pilihan

Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode

Total 10 Episode

#tripvianahagnese

Beberapa hari setelah sore hujan yang syahdu itu, hidup Senja dan Awan seolah dipenuhi percakapan yang tak ada habisnya. Telepon larut malam menjadi kebiasaan, berbagi cerita tentang mimpi dan ketakutan, tentang buku yang baru dibaca, atau bahkan resep kopi baru yang dicoba Awan. Ikatan mereka semakin kuat, seperti benang tak kasat mata yang menjahit dua hati. Di kafe, pandangan mereka seringkali bertemu, dan ada senyum tipis yang berbagi rahasia di antara keduanya.

Senja merasa ringan, beban di pundaknya seolah terangkat sedikit. Ada seseorang yang mendengarkan, yang memahami, bahkan tanpa banyak kata. Ia merasa hidupnya tidak lagi sendirian, ada Awan yang menemani di setiap langkah. Sementara Awan, merasakan kegembiraan yang baru. Hari-harinya di kafe terasa lebih hidup, menanti kedatangan Senja, menanti obrolan yang selalu membawa senyum di wajahnya. Ia tahu, di balik kopi-kopi yang ia racik, ada seseorang yang juga melihatnya, bukan hanya sebagai barista, tapi sebagai seorang pria dengan mimpi dan hati yang tulus.

Suatu pagi, Senja sedang sibuk dengan laptopnya di kafe, sketsa-sketsanya berserakan di atas meja. Jemarinya lincah menari di atas mouse pad, mengerjakan desain logo untuk klien kecil. Ia begitu fokus, sampai sebuah suara familiar menyapanya, mengagetkan.

"Senja? Astaga, kamu di sini?"

Senja mendongak, matanya membesar melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Berdirilah Rama, 26 tahun, berpenampilan rapi dengan kemeja biru muda yang pas di badannya. Senyumnya ramah namun terlihat self-assured, seolah ia tahu persis apa yang diinginkannya. Ada aura kesuksesan yang terpancar dari dirinya, dari jam tangan mahal di pergelangan tangan hingga sepatu kulitnya yang mengkilap.

"Rama? Apa kabar? Lama banget nggak ketemu!" Senja berdiri, sedikit canggung. Ia tak menyangka akan bertemu Rama di kafe langganannya. Rama adalah kakak kelas Senja di SMA, yang dulu sempat mencoba mendekatinya. Kala itu, Senja menolak dengan halus, beralasan ingin fokus belajar untuk ujian nasional. Ia tak menyangka kini Rama, yang dulunya hanya sekadar kakak kelas populer, sudah menjadi pengusaha startup yang sedang naik daun di bidang teknologi.

"Baik, Senja. Kamu gimana? Aku dengar-dengar Papa sakit, ya? Gimana keadaannya sekarang?" Rama menatap Senja dengan sorot mata prihatin. Ia memang hanya mendengar kabar dari teman-teman lama, tanpa tahu detail kondisi ayah Senja. "Aku sebenarnya mau jenguk, tapi nggak enak. Nah, kebetulan banget ketemu kamu di sini. Aku lagi butuh desainer grafis untuk proyek baru, gajinya lumayan bagus. Kantornya memang di pusat kota, tapi jangan khawatir, nanti aku bantu carikan tempat tinggal nyaman tapi juga terjangkau di sana."

Rama menjelaskan lebih lanjut penawarannya. "Proyeknya besar, Senja, ini untuk aplikasi edukasi. Aku butuh orang yang kreatif dan detail. Kamu selalu punya bakat itu, kan? Untuk gajinya, aku bisa tawarkan dua kali lipat dari UMR Jakarta, plus tunjangan kesehatan pribadi dan keluarga. Ada juga bonus proyek jika selesai sesuai target. Pastinya ini bisa bantu banyak untuk biaya pengobatan Papamu." Rama menatap Senja penuh perhatian, seolah ingin meyakinkan setiap kata.

Awan, yang sedang membersihkan konter di balik mesin espresso, mendengar seluruh percakapan itu. Tangannya yang tadinya cekatan kini berhenti bergerak. Ia menatap ke arah Senja dan Rama, senyumnya perlahan memudar. Ia merasakan sebuah cengkeraman tak nyaman di hatinya. Rasanya seperti ada dinding yang tiba-tiba muncul di antara ia dan Senja. Bukan karena ia tidak percaya pada Senja, tapi Rama datang dengan tawaran yang tak bisa ia berikan, tawaran yang seolah menampar kenyataan pahit akan keterbatasannya. Awan tahu Senja butuh bantuan, tapi kenapa harus dari Rama, seorang pria yang jelas-jelas punya segalanya, dan yang jelas-jelas punya sejarah mencoba mendekati Senja? Sebuah rasa cemburu yang dalam, bercampur insekuritas, perlahan merayap di dadanya.

Malam itu, Senja pulang dengan pikiran berkecamuk. Tawaran Rama sangat menggiurkan, bisa membantu biaya pengobatan ayahnya yang terus membengkak. Dua kali lipat UMR, tunjangan kesehatan, bonus proyek---itu adalah solusi finansial yang sudah lama ia cari, sebuah jalan keluar dari lilitan beban yang selama ini menghimpit. Namun, ada Awan. Hatinya terbagi, antara kebutuhan keluarga dan perasaannya yang semakin dalam pada Awan. Ia duduk di kamarnya, memandangi buku sketsanya, yang di dalamnya ada gambar coretan senyum Awan yang pernah ia buat diam-diam. Raut wajahnya tegang, ada kerutan dalam di dahinya. Dilema itu begitu nyata, begitu menyesakkan.

Dengan ragu, Senja akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Awan, menceritakan tawaran Rama secara detail. Ponselnya berdering tak lama kemudian, Awan meneleponnya.

"Senja, kamu nggak usah khawatir," suara Awan terdengar mantap, meski Senja bisa menangkap sedikit guncangan yang tak bisa ia sembunyikan. "Kalau itu yang terbaik buat Bapak kamu, ambil aja. Aku di sini. Mimpi kamu itu yang penting. Aku dukung penuh."

Mendengar kata-kata itu, air mata Senja menetes. Awan mengesampingkan perasaannya sendiri demi Senja. Sebuah fakta pahit yang ia ketahui: ia tak bisa menawarkan jaminan finansial sebesar itu. "Tapi... kamu?" isaknya, suaranya tercekat. Ia merasa bersalah, seolah ia mengkhianati perasaan Awan.

"Aku nggak ke mana-mana, Senja. Kita udah janji, kan?" jawab Awan, suaranya melembut, mencoba menenangkan. Ada kekuatan luar biasa dalam ucapannya, sebuah ketulusan yang mengalahkan cemburu dan rasa insekuritasnya. Pada momen ini, Awan menunjukkan kematangan dan ketulusan cintanya, sebuah cinta yang rela berkorban, bukan posesif. Senja merasa sedikit lega, beban itu sedikit terangkat. Pilihan itu masih terasa berat, namun setidaknya, ia tahu ia tidak sendirian. Ada Awan yang selalu ada untuknya, dengan caranya sendiri.

Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode

Total 10 Episode

#tripvianahagnese

Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun