Tayang Setiap Hari pukul 12.00 WIB
Episode 8: Gencatan Senjata dan Petunjuk Aneh
Laptop Amel menyala. Aplikasi CRS. Status: Online. Akhirnya! Setelah semalaman suntuk menahan gejolak emosi dan kebingungan soal Brian, Amel bisa kembali curhat pada Mr. X. Ia langsung melanjutkan pesannya yang terputus semalam, meluapkan semuanya.
Mela: Mr. X! Kamu offline pas aku butuh banget! Huhuhu. Pokoknya hari ini kacau! Aku pingsan, malu di depan Amin, terus malah diantar pulang sama Brian! Kamu tahu Brian kan?! Yang nyebelin itu! Dia lihat aku pura-pura jatuh, terus ngetawain aku, terus bilang aku berat! Tapi dia kok mau nganterin aku sih?! Aneh banget! Niat dia tuh apa sih?! Aku bingung!
Amel menunggu. Balasan datang. Kali ini, respons "Mr. X" terasa... sedikit berbeda dari respons AI 'ilmiah' sebelumnya. Ada nada yang lebih... peka?
Mr. X: Maaf atas ketidaknyamanan teknis kemarin, Mela. Log Anda terkirim. Saya sudah menganalisis insiden hari ini. Pingsan adalah respons fisik terhadap stres dan kelelahan. Upaya Anda mendekati 'Amin' menunjukkan inisiatif, meski hasilnya tidak sesuai harapan. Mengenai 'Brian'...
(Di kamar sebelah, Brian tersenyum geli membaca curhatan Amel. Hahaha, dia beneran pingsan gara-gara panas dan malu ya. Dan dia nyadar gue lihat dia pura-pura jatuh. Bagian 'aku bingung deh sama dia, niat dia apa sih?' membuat Brian merenung sejenak, senyumnya memudar diganti ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengetik respons dengan hati-hati, mencampurkan analisis AI dengan sedikit... sesuatu.)
Mr. X: ...Perilaku Subjek 'Brian' yang menolong Anda, meskipun disertai komentar yang memicu 'rasa jengkel', bisa diinterpretasikan sebagai 'respons protektif' naluriah atau 'tanggung jawab' akibat situasi (melihat Anda lemas, tinggal di komplek yang sama). Kadang, tindakan seseorang yang tampak kontradiktif bisa disebabkan oleh motivasi yang tidak sepenuhnya ia sadari, atau karena ia tidak tahu cara lain mengekspresikannya selain dengan 'interaksi khas' yang biasa ia lakukan dengan Anda.
Mela: Hah? Respons protektif? Tanggung jawab? Dia? Brian? Mr. X serius? Dia kan cuma suka bikin aku jengkel!
Mr. X: Berdasarkan data interaksi Anda, 'rasa jengkel' adalah pola komunikasi dominan antara Anda dan Subjek 'Brian'. Mungkin di balik itu, ada dinamika lain yang belum sepenuhnya terekspos. Amati lebih lanjut.
Amel membaca balasan itu, dahinya berkerut. Analisis AI ini aneh banget. Brian 'respons protektif'? Brian 'tanggung jawab'? AI ini nge-bug ya? Kok bisa-bisanya menganalisis Brian kayak gitu? Tapi perkataan 'amati lebih lanjut' itu terngiang.
Beberapa hari kemudian, setelah insiden pingsan dan curhat ke CRS (yang kini responsnya terasa sedikit... lebih 'hidup'?), Amel dan Brian seperti memiliki 'gencatan senjata' yang canggung. Mereka tidak lagi saling serang secara verbal setiap kali berpapasan. Hanya saling melirik, kadang salah satu tersenyum (senyum Brian biasanya iseng, senyum Amel biasanya kaku), lalu membuang muka.
Suatu pagi di sekolah, Amel menemukan sebuah kotak kue di mejanya. Tidak ada nama pengirim. Di sampingnya, Brian lewat.
"Oh, kue itu ya," celetuk Brian santai. "Itu hasil eksperimen nyokap gue semalam. Nggak tahu isinya apaan. Biasanya sih enak." Brian lalu ngeloyor pergi.
Amel menatap kotak kue itu, lalu menatap punggung Brian yang menjauh. Hasil eksperimen nyokap? Kenapa dikasih ke gue? Terus... dia bilang biasanya enak? Berarti yang gue kasih kemarin... Pipi Amel memerah. Kenapa Brian memberinya kue dari mamanya? Aneh.
Di lain waktu, saat pelajaran Biologi yang membosankan, Amel sekelas dengan Brian (tapi tidak dengan Alex). Amel sedang fokus mencatat saat ia mendengar suara Bu Ratna, guru Biologi yang terkenal sabar tapi bisa mendamprat kalau ada yang tidak perhatian.
"Brian Pratama! Tidur di kelas?! Mau jadi apa kamu?!"
Brian yang ketiduran di meja belakang langsung gelagapan, bangun dengan rambut acak-acakan, mencoba menjawab pertanyaan Bu Ratna tentang fotosintesis dengan kalimat yang tidak nyambung.
"Eeeh... fotosintesis itu...anu... yang bikin pohon... anu, hijau, Bu!"
Teman-teman sekelas nyaris tertawa. Bu Ratna sudah pasang tampang siap mengeluarkan petuah panjang lebar. Amel, tanpa sadar, merasa kasihan (dan juga melihat kesempatan untuk mengalihkan perhatian Bu Ratna).
"Maaf, Bu!" Amel mengangkat tangan. "Sepertinya Brian kurang istirahat karena bantu mempersiapkan turnamen basket kemarin. Fotosintesis itu proses tumbuhan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia dalam bentuk glukosa, Bu, menggunakan karbon dioksida dan air."
Bu Ratna menoleh ke Amel, senyumnya mengembang. "Nah, dengar itu Brian! Amel saja tahu! Pintar sekali kamu, Amel!" Bu Ratna pun mengapresiasi Amel panjang lebar. Brian luput dari dampratan. Tepat setelah itu, bel tanda pelajaran usai berbunyi.
Saat teman-teman bubar, Brian menghampiri meja Amel. Wajahnya terlihat... sungkan? Hal yang sangat langka.
"Eh, anu... Makasih ya, Mel," gumam Brian, garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Gue... gue nggak jadi kena semprot Bu Ratna gara-gara lo."
Amel agak terkejut dengan ucapan Brian yang tulus (atau setidaknya tidak diiringi ledekan). "Hm. Lain kali jangan tidur di kelas," jawabnya datar, berusaha keras untuk tidak terlihat tersentuh.
Brian mengangguk cepat. "Iya, iya. Oke deh. Sebagai balas budi... lo punya satu permintaan. Apa aja. Bilang aja ke gue. Nanti gue lakuin." Wajahnya kembali menampilkan sedikit kenakalan khasnya. "Yang penting jangan yang aneh-aneh ya."
Amel menatap Brian. Permintaan? Dia punya satu permintaan berharga yang bisa diminta dari Brian si menyebalkan? Ini menarik. Amel tersenyum tipis. "Oke. Nanti kalau aku butuh, aku bilang."
"Deal," Brian mengangguk mantap, lalu berjalan keluar kelas.
Tepat saat itu, Alex muncul di depan pintu kelas Brian, seperti biasa mencari teman-teman basketnya. Ia melihat Amel masih terduduk di kursinya yang dekat pintu kelas, lalu tersenyum pada Amel.
"Amel! Kamu nggak apa-apa kan? Dengar kamu pingsan kemarin?" tanya Alex dengan suara ramah, membuat hati Amel langsung berbunga-bunga dan salah tingkah.
"Eh! I-iya Alex! Aku... aku baik-baik saja! Makasih ya sudah tanya!" jawab Amel gugup.
Brian, yang belum jauh dari meja Amel, mendadak berbalik. Ia berjalan cepat kembali ke pintu kelas, merangkul bahu Alex. "Wah, udah siap latihan nih, Al? Ayo! Kita udah ditunggu nih!" Brian langsung menarik Alex menjauh dari pintu kelas dan dari Amel.
Alex masih sempat menoleh ke belakang, melemparkan senyum dan lambaian kecil pada Amel, membuat Amel semakin salah tingkah dan pipinya merona.
Brian! Nyebelin banget sih motong omongan gitu! batin Amel kesal, tapi juga agak... bingung? Kenapa Brian buru-buru sekali menarik Alex? Apakah dia... tidak suka melihat Amel bicara dengan Alex? Ah, mana mungkin! Dia kan cuma mau ganggu aku aja!
Beberapa hari berikutnya, interaksi "segitiga" ini terjadi lagi dalam berbagai skenario, seringkali diprakarsai oleh 'saran' dari Mr. X (yang kini Amel tidak tahu adalah Brian) atau kebetulan yang diciptakan Brian.
Di kantin saat makan siang, Amel duduk sendirian di bangku panjang yang cukup kosong. Alex masuk kantin dan kesulitan mencari tempat. Amel melihat ada tempat kosong persis di sebelahnya di bangku panjang itu. Ya ampun! Ini kesempatan! Ia membiarkan tempat itu kosong.
Alex melihat tempat itu. Tersenyum pada Amel. "Boleh duduk di sini, Mel?"
"Eh! B-boleh! Silakan, Alex!" Wajah Amel merah padam. Alex duduk di sebelahnya!
Baru saja Alex bertanya, "Kamu lagi makan apa, Mel?", tiba-tiba...
Grep!
Brian dengan santainya, tanpa permisi, menyelinap masuk ke bangku panjang, duduk persis di tengah-tengah antara Amel dan Alex! Dia membawa nampan makanannya sendiri.
"Wih, rame nih! Pas nih, cuma di sini doang yang ada tempat kosong!" kata Brian, memasang tampang polos. Padahal jelas-jelas di ujung sana masih ada tempat kosong! batin Amel jengkel.
Amel merengut ke arah Brian, menginjak kakinya pelan di bawah meja (tapi Brian pura-pura tidak merasakan). Brian! Ngapain sih kamu di sini?! Mood makanku hilang!
Alex yang tadinya mau melanjutkan bicara dengan Amel jadi sedikit terganggu. "Lo dari mana aja, Yan?"
"Oh, tadi habis nyari buku titipan abang, Al. Nggak nemu-nemu," jawab Brian sambil mengambil saos. Alex melirik saos yang baru diletakkan Brian di dekat Amel.
"Mel, boleh minta tolong ambilin saosnya?" tanya Alex pada Amel.
Sebelum Amel sempat bergerak, Brian sudah menyambar botol saos itu. "Nih, Al! Langsung aja!" Brian menyerahkan saos ke Alex sambil terus ngomong ngalor ngidul tentang betapa susahnya nyari buku titipan abangnya, menguasai percakapan dan membuat Amel terpinggirkan.
Amel duduk di sana, memakan makanannya dengan kesal, sesekali melirik Brian yang asik ngobrol sama Alex. Nyebelin! Tiap aku mau ngobrol sama Alex, pasti ada dia! Ini kebetulan atau disengaja sih?!
Kejadian lain lagi saat latihan band sekolah untuk acara perpisahan. Pemain gitar utama, Rian, sakit. Mereka butuh gitaris pengganti untuk latihan hari itu. Amel, sebagai panitia acara, celingak-celinguk di depan ruang latihan, mencari kenalan yang bisa main gitar. Alex kebetulan lewat.
"Lagi cari orang, Mel?" tanya Alex. Amel menjelaskan situasinya.
"Oh, gue bisa bantu kok," kata Alex santai. "Kebetulan gue lumayan bisa main gitar."
Mata Amel berbinar. Ya ampun, Alex mau bantuin! Akhirnya momen sama Alex!
Latihan pun dimulai, dengan Alex mengiringi. Suasana terasa lebih bersemangat. Baru beberapa lagu, pintu ruang latihan terbuka. Muncul Brian, ngos-ngosan.
"Al! Dicariin pelatih tuh! Udah pada kumpul buat pengarahan!" kata Brian, terengah-engah seolah baru lari maraton. Padahal dia dari tadi cuma main game di pojokan.
Tim band protes. "Yah, Alex! Kita kan lagi latihan!"
Brian dengan pedenya langsung melangkah masuk. "Tenang! Ada gue! Gue back up gitar buat latihan ini! Alex biar ke pelatih aja!" Brian langsung nyambar gitar dan duduk di tempat Alex.
Alex tampak ragu sebentar, tapi karena Brian bilang pelatih sudah menunggu, ia pun pamit ke Amel dan teman-teman bandnya. "Sorry ya, Mel. Nanti gue bantu lagi kapan-kapan."
"Eh, i-iya Alex," jawab Amel lesu. Brian! Lagi-lagi dia! Setiap ada kesempatan sama Alex, pasti ada dia!
Amel duduk di sana, menatap Brian yang kini asik main gitar (lumayan jago juga ternyata), tapi hatinya kesal. Kenapa Brian selalu ada di sana? Kenapa setiap kali Amel mencoba mendekati Alex (meski dengan cara yang direkomendasikan Mr. X!), Brian selalu muncul sebagai "gangguan"? Apakah ini benar-benar kebetulan semata?
Amel mulai merenung. Kata-kata Brian, kelakuannya yang aneh (kadang nyebelin, kadang nolong, kadang sok perhatian dengan kue mamanya), kehadirannya yang selalu pas di momen "Alex"... Dan respons Mr. X di CRS yang anehnya tahu banyak soal Brian, bahkan kadang analisisnya soal Brian terdengar... terlalu akurat?
Sebuah pikiran ganjil mulai merayap di benak Amel. Jangan-jangan... Jangan-jangan Brian... cenayang? Stalker? Penggemar rahasia Amel? Naksir Amel? Untuk kemungkinan terakhir, Amel bergidik ngeri. Nggak mungkin! Nggak akan pernah!
Tapi kebetulan-kebetulan ini terasa terlalu banyak. Terlalu pas. Seperti ada dalang di balik layar. Amel mulai bertanya-tanya: Siapakah dalang itu?
Tayang Setiap Hari pukul 12.00 WIB
#tripvianahagnese
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI