Di Tengah derasnya arus informasi dan hiburan global, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda atau biasa di sebut sebagai gen z, semakin terpapar pada budaya pop internasional. Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial: bagaimana kita dapat menjaga identitas budaya lokal di tengah gempuran globalisasi budaya?
K-pop dan drama Korea menjadi contoh nyata bagaimana budaya pop asing dapat dengan mudah merasuki keseharian masyarakat kita. Popularitas boyband BTS atau drama seperti "Crash Landing on You" bukan hanya memengaruhi selera music atau tontonan, tetapi juga gaya hidup, fashion, bahkan cara berbahasa anak muda Indonesia.
Di satu sisi, keterbukaan terhadap budaya global ini membuka wawasan dan memperkaya pengalaman kultural. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai dan tradisi lokal akan terkikis perlahan. Misalnya, banyak anak muda yang lebih fasih menyanyikan lagu K-pop dibandingkan lagu daerah, atau lebih mengenal sejarah fiksi drama Korea dibandingkan sejarah bangsa sendiri.
Fenomena ini erat kaitannya dengan konsep cultural imperialism dalam Kajian Kultural Komunikasi. Media massa dan platform digital menjadi agen utama penyebaran budaya dominan, yang seringkali berasal dari negara-negara maju. Akibatnya, terjadi homogenisasi budaya yang mengancam keberagaman lokal.
Namun, situasi ini tidak harus dilihat sebagai ancaman semata. Justru, ini bisa menjadi peluang untuk melakukan hibridisasi budaya -- memadukan unsur lokal dengan global untuk menciptakan identitas baru yang unik. Contohnya, munculnya genre music dangdut koplo yang menggabungkan elemen tradisional dengan modern, atau film-film Indonesia yang mengangkat cerita lokal dengan standar produksi internasional.
Untuk menyikapi dilema ini, diperlukan pendekatan yang seimbang:
1. Penguatan Pendidikan budaya lokal sejak dini, baik melalui kurikulum formal maupun kegiatan ekstrakurikuler.
2. Pemanfaatan platform digital untuk mempromosikan konten budaya lokal dengan cara yang menarik dan relevan bagi generasi muda,
3. Mendorong industri kreatif lokal untuk menciptakan produk budaya yang berkualitas dan mampu bersaing di kancah internasional.
4. Literasi media yang kritis untuk membantu masyarakat memahami dan menyaring konten budaya yang mereka konsumsi.
Dengan pendekatan ini, kita bisa berharap terciptanya masyarakat yang tidak hanya bangga dengan identitas lokalnya, tetapi juga mampu berdialog dengan budaya global tanpa kehilangan akar.