Waduh, salah lagi. Pada awalnya saya merasa putus asa. Hampir saja saya menyerah. Namun, setelah saya pikir ulang, tidak ada salahnya saya mencoba sekali lagi. Sudah terlanjur wira-wiri dan banyak kerepotan, sayang juga kalau tidak dilanjutkan. Lagi-lagi saya datang ke Kantor BKD lagi untuk mengajukan permohonan pembatalan.
Permohonan Ditolak untuk Ketiga Kalinya
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya muncul notifikasi yang isinya permohonan saya ditolak untuk ketiga kalinya. Alasannya, luas tanah yang terinput tidak sesuai dengan sertifikat. Walah-walah, salah terus ya. Ada saja kesalahannya.
Pembetulan kesalahan kok dicicil satu per satu, tidak sekaligus. Mana kalau salah harus datang langsung ke kantor dan melampirkan semua berkas, tidak bisa pembetulan secara online dengan mengupload ulang.
Sudah memakan waktu tiga bulan lebih saya mengurus  BPHTB dan tiga kali pula mengalami penolakan. Padahal, untuk Turun Waris ini biayanya adalah nol Rupiah alias gratis. Yang tanpa biaya saja selama dan serumit ini, bagaimana kalau yang berbayar ya. Â
Saya jadi berpikir, apakah hal ini merupakan pertanda bahwa urusan BPHTB dan pertanahan pada umumnya tidak bisa diurus sendiri, tetapi harus lewat notaris. Entahlah!
Birokrasi Simpel, Mungkinkah?
Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo membuat pernyataan akan mencopot pejabat yang masih memperumit birokrasi terutama terkait pelayanan publik. Sebenarnya ini pertanda bagus. Sebab, bukan saatnya lagi sebuah negara demokrasi yang masih menerapkan birokrasi yang rumit dan berbelit-belit, serta berbiaya tinggi. Apalagi di era digital seperti sekarang ini, mestinya pelayanan publik lebih mudah dan lebih cepat.
Saya mengakui bahwa sejak Era Reformasi sampai sekarang telah banyak perubahan dalam sistem birokrasi kita, berbeda dengan zaman Order Baru dulu. Saya sangat mengapresiasi hal ini. Namun di sisi lain, sebagian dari birokrasi kita terutama yang masuk dalam kategori "lahan basah" masih belum ada perubahan berarti.
Terkadang kita bertanya, apakah birokrasi yang rumit dan berbelit-belit yang merupakan warisan turun-temurun dan mendarah-daging adalah suatu "penyakit kronis" mental bangsa kita yang barangkali hampir mustahil untuk disembuhkan?