Setengah perjalanan pendidikanku bukan hanya tentang kitab, kelas, dan ujian. Ada sosok yang selalu berjalan di sampingku, meski langkahnya kadang tertatih-ayah.
Aku masih ingat, setiap pagi ayah yang mengantarku ke sekolah dengan motor tuanya. Jaket lusuh yang menempel di tubuhnya, kadang basah oleh hujan, seolah menjadi tameng yang melindungiku dari dingin. Di jok belakang, aku hanya bisa diam, memandangi punggung ayah yang kokoh, sambil berjanji dalam hati untuk tidak mengecewakannya.
Ayah bukan orang yang banyak bicara. Nasihatnya sering singkat, bahkan kadang hanya berupa kalimat sederhana: “Belajar yang benar. Jangan setengah hati.” Tapi justru dari kata-kata yang singkat itu, aku merasa ada beban besar sekaligus doa yang dititipkan.
Setengah perjalanan ini kujalani dengan jatuh-bangun. Ada nilai yang tak sesuai harapan, ada lelah yang membuatku ingin berhenti. Tapi setiap kali melihat ayah pulang larut dengan wajah letih, aku sadar bahwa menyerah bukan pilihan.
Ayah mengajarkanku arti pendidikan bukan hanya di ruang belas, tapi juga di jalanan berdebu, di keringat yang menetes, dan di sabarnya menghadapi hidup. Separuh perjalanan ini masih panjang, namun aku percaya, setiap langkah yang kuambil selalu ada doa ayah yang mendahului.
Dan kelak, ketika perjalanan ini sampai di garis akhir, aku ingin ayah tetap berada di sisiku—bukannya sebagai pengantar, tapi sebagai saksi bahwa perjuangannya tak sia-sia.
-tri lestari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI